Reformasi Tata Pemerintahan di Indonesia Tahun 2025

men standing in parliament

Gambar fitur Sutan Sjahrir (berdiri di tengah) adalah perdana menteri Indonesia pertama yang menjabat dari 1945 sampai dengan 1947. Foto dari pembukaan Sidang Paripurna Pertama KNIP (DPR sementara) 16 Okt 1945. Kredit: Foto dari koleksi Keluarga Sutan Sjahrir

 

Pada akhir tahun 2024 Presiden Prabowo menyatakan bahwa negara seharusnya kembali ke bentuk sistem parlementer untuk memilih gubernur, bupati dan wali kota. 10 tahun yang lalu calon presiden Prabowo mencatat bahwa sistem pemilihan langsung untuk presiden tidak dikenal dalam sejarah Indonesia.

Pernyataan-pernyataan ini jelas mencerminkan pandangannya yang dipegang teguh tetapi menimbulkan kontroversi besar yang sebagian disebabkan oleh antipati public yang telah lama diindoktrinasi di Indonesia terhadap sistem parlementer. Amandemen terhadap sistem pemilihan, khususnya untuk presiden dan gubernur, menawarkan peluang bersejarah untuk menanggulangi sejumlah kelemahan integritas dalam sistem ini.

Di tingkat nasional, pemisahan posisi kepala negara (presiden) dari kepala pemerintahan (perdana menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen) menawarkan jalur yang lebih mudah bagi bangsa untuk mencapai visi konstitusional, yaitu menjadi negara yang adil dan makmur. Sayangnya, penurunan persepsi korupsi selama lima tahun terakhir ini akan mempersulit pencapaian visi konstitusional ini.

Pengantar

Setelah penylenggaraan pilkada di provinsi dan kabupaten/kota pada akhir November 2024, Presiden Prabowo mengusulkan agar pemilihan langsung para pemimpin tersebut digantikan dengan pemilihan dari DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Tidak mengherankan, bahwa usulan ini menuai banyak diskusi. Hal ini juga dilihat dari tingkat dukungan tinggi dari masyarakat terhadap sistem pemilihan langsung, termasuk pemilihan presiden secara langsung. Sumber di sini dan di sini.

Makalah ini membahas beberapa isu yang berkaitan dengan sistem pemerintahan yang optimal bagi Indonesia. Tujuan utamanya adalah untuk menawarkan beberapa perspektif historis dan kontekstual yang dapat menguatkan landasan informasi mengenai perdebatan yang muncul mengenai sistem pemerintahan yang paling optimal untuk Indonesia. Saya juga akan memberikan beberapa refleksi pribadi mengenai sistem ketatanegaraan mana yang menawarkan jalan yang lebih mudah bagi Indonesia untuk menjadi negara yang adil dan makmur.

Presiden Prabowo dan tradisi parlementer Indonesia

Dalam hemat saya usulan Presiden ini bukan sekadar upaya “lempar bola” untuk menguji sentimen publik. Usulan beliau ini mencerminkan sebagian pandangannya yang sudah lama dianutnya tentang sistem pemerintahan yang optimal. Misalnya, dalam kampanye untuk menjadi presiden pada tahun 2014, beliau mengamati bahwa “banyak sekali yang kita terapkan karena meniru dari luar, dengan keluguan kita. Ternyata sebetulnya tidak cocok dengan budaya kita sendiri, tetapi sudah terlanjur. Sebagai contoh, pemilihan langsung. Ini sudah terlanjur dirasakan. Bagaimana kita balikkan jarum jam sejarah?”

Pada saat itu, para pengkritiknya memandang komentar-komentar ini sebagai bukti bahwa beliau ingin kembali ke suatu bentuk sistem otoriter. Salah satu contoh kritik pada saat itu adalah “pada tanggal 28 Juni di pusat kebudayaan Taman Ismail Marzuki di Jakarta, Prabowo mengatakan bahwa ia memandang sistem politik Indonesia terlalu dipengaruhi oleh nilai-nilai Barat. Baginya, pemilihan umum langsung (mungkin di tingkat nasional dan lokal) tidak sejalan dengan budaya Indonesia, tetapi telah diadopsi dan diabadikan seperti kebiasaan buruk (ia menyebutkan merokok sebagai contoh)”. Lihat di sini.

Politisi terkadang mengungkapkan perasaan dan pandangan mereka yang sebenarnya pada saat-saat yang tidak terduga. Dalam sebuah wawancara menarik dengan Financial Times Inggris pada pertengahan tahun 2013, Prabowo ditanya pemimpin mana yang paling ia kagumi. Artikel tersebut mencatat, “Pilihannya terhadap panutan Asia cukup menarik, di antaranya adalah Jawaharlal Nehru dari India, yang ‘berasal dari keluarga kaya tetapi selalu membela kaum miskin’, serta orang-orang kuat Asia Tenggara seperti Lee Kuan Yew dari Singapura, Mahathir Mohamad dari Malaysia, dan Thaksin Shinawatra dari Thailand”.

Selain menjadi pemimpin negara-negara yang terletak dekat dengan Indonesia, masing-masing pemimpin ini adalah perdana menteri atau kepala pemerintah. Tidak seorangpun diantara mereka menjabat sebagai presiden, raja, atau bentuk kepala negara lainnya.

Menurut saya, komentar-komentar ini juga menunjukkan pemahaman yang kuat dari Presiden Prabowo bahwa budaya politik Indonesia didasarkan pada beberapa bentuk sistem parlementer.

Dalam konteks sejarah Indonesia, beliau memang benar. Dari tahun 1945 hingga 2002, berbagai konstitusi Indonesia dan kesemuanya menerapkan beberapa bentuk sistem parlementer. Dari tahun 1945 hingga 1949, UUD 1945 yang asli diterapkan dengan pemisahan yang jelas antara presiden dan seorang perdana menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen yang baru terbentuk saat itu.

Di bawah sistem federal yang sangat singkat pada tahun 1949-1950, sistem parlementer diterapkan lagi dan tetap diterapkan di bawah Undang-Undang Dasar Sementara dari tahun 1950 hingga 1959.

Kesalah-kaprahan umum bahwa UUD 1945 mengatur sistem presidensial

Pada saat Indonesia kembali menerapkan UUD 1945 pada bulan Juli 1959, jabatan presiden dan perdana menteri digabung dalam satu orang. Dapat dimaklumi banyak kebingungan historis bahwa Indonesia menjalankan sistem pemerintahan presidensial yang muncul sebagai akibat dari pengalaman ini. Mirip dengan Amerika Serikat atau Filipina dan sebagian besar negara Amerika Latin, presiden (kepala negara) memang merangkap jabatan sebagai perdana menteri (kepala pemerintahan).

Dari sudut pandang Indonesia, fakta bahwa dua presiden pertama, yang merangkap jabatan sebagai presiden dan perdana menteri serta merupakan tokoh yang sangat dominan di panggung nasional, maka tidak mengherankan kalau masyarakat memandang bahwa ini pasti sistem presidensial. Perbedaan mendasar antara cara yang sangat tidak lazim dari apa yang disebut sistem presidensial Indonesia dari tahun 1959-2002 yang dioperasikan dibandingkan dengan cara penerapan sistem presidensial di negara-negara lain adalah di Indonesia selama masa itu presiden diangkat oleh, bertanggung jawab kepada, dan dapat diberhentikan secara sepihak oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebuah parlemen super.

Dalam sistem presidensial yang lain, presiden dipilih oleh para pemilih dan bahkan parlemen tidak dapat dengan mudah memberhentikan presiden. Upaya untuk menyingkirkan presiden di bawah sistem presidensial tidak dapat dilakukan secara sepihak oleh badan legislatif: badan yudikatif pemerintah juga terlibat.

Guna menunjukkan secara lebih jernih bahwa UUD 1945, sebagaimana diterapkan antara tahun 1959 dan 2002, memang merupakan sistem parlementer, mari kita ingat bahwa presiden pertama (Sukarno) diangkat dan kemudian diberhentikan oleh MPR. Presiden kedua (Soeharto) diangkat secara sementara dan kemudian diangkat dan diangkat kembali tujuh kali lagi. Meskipun beliau akhirnya mengundurkan diri, perlu dicatat bahwa beliau diminta oleh ketua MPR saat itu untuk mengundurkan diri dan tiga hari berikutnya beliau mengundurkan diri. Presiden ketiga (Habibie) dikukuhkan dan tahun berikutnya ditolak oleh MPR. Presiden keempat (Wahid) diangkat dan kemudian diberhentikan oleh MPR. Presiden kelima (Megawati) dikukuhkan oleh MPR. Pada akhir masa jabatannya, sistem presidensial baru diberlakukan. Beliau digantikan oleh presiden pertama yang dipilih secara langsung, yaitu Presiden Yudhoyono.

Yang semakin memperkeruh suasana pemikiran di Indonesia mengenai sistem pemerintahannya selama era 1959-2002 adalah posisi Majelis Permusyawaratan Rakyat, MPR saat itu. Pandangan yang sering dikemukakan adalah lembaga MPR ini merupakan sejenis dewan electoral (electoral college) sebagaimana digunakan di AS. Pandangan tentang MPR ini sangat tidak tepat. MPR mengangkat dan berhak memberhentikan presiden dan melakukannya secara sepihak. MPR ini memiliki kewenangan sepihak untuk mengamandemenkan UUD dan bahkan dapat mengeluarkan produk legislatif – misalnya Ketetapan MPR (TAP-MPR) termasuk Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Dewan elektoral AS pada dasarnya hanya mengalihkan hasil pemilihan presiden dari para pemilih dengan pembobotan berdasarkan besaran negara bagian untuk menjadi hasil resmi. Lembaga ini tidak memilih presiden secara langsung. Lembaga ini tentu saja tidak memberhentikan presiden atau terlibat proses amandemen UUD atau melakukan tindakan legislatif apa pun.

Dalam hal wacana publik, ada elemen tambahan terhadap kekaburan mengenai pengaturan konstitusional historis Indonesia. Sejumlah tokoh senior Indonesia, yang sebagian besar dipimpin oleh tokoh militer yang purna bakti, menyerukan agar UUD 1945 yang asli diterapkan kembali dengan alasan bahwa amandemen yang dilakukan sejak 1999 telah menciptakan sistem demokrasi liberal dan bahwa sistem ini tidak sesuai untuk Indonesia. Ingatlah bahwa dalam peribahasa politik Indonesia, penghinaan terburuk setelah disebut ‘komunis’ adalah disebut ‘liberal’.

Masalah bagi para pengikut romansa nostalgia ini, yang ingin membawa negara ini kembali ke masa lalu, adalah bahwa mereka tidak pernah menguraikan tantangan inti, yaitu versi UUD 1945 asli mana yang mereka inginkan? Apakah versi UUD 1945 asli yang berlaku dari tahun 1945 hingga 1949 di mana negara ini dipimpin oleh seorang presiden dan diperintah oleh seorang perdana menteri (dan kabinetnya) yang bertanggung jawab kepada parlemen? Atau apakah yang mereka maksud adalah UUD 1945 asli sebagaimana berlaku antara tahun 1959 hingga dimulainya periode Reformasi di mana presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan? Kedua sistem ini sangat berbeda.

Implikasinya dalam hal mengamankan visi inti negara, diuraikan secara lebih dalam di bagian bawah makalah ini. Mengingat tokoh-tokoh ini menjalani kehidupan profesional mereka di bawah UUD 1945 sebagaimana diterapkan antara tahun 1959 dan 2002, maka pemahaman mereka secara umum tentang seperti apa konstitusi ini kemungkinan merupakan sistem yang diterapkan selama tahun-tahun tersebut. Hal ini sangat disayangkan tidak hanya karena menciptakan wacana publik yang ambigu dan kurang informasi tetapi juga mengingat bahwa sistem 1959-2002 ini mengandung kelemahan struktural yang mendalam.

people on motorbikes
Bagaimana cara terbaik untuk menangkap keinginan masyarakat Indonesia?  Kredit: Fikri Rasyid and Unsplash

 

UUD 1945 yang diterapkan 1959-2002: secara struktural sistem ini tidak stabil

Poin tambahannya adalah bahwa lain dari parlemen di sebagian besar negara yang menerapkan salah sari bentuk sistem parlementer, MPR dan Badan Legislatif, DPR, yang berada di dalam MPR, tidak dapat dibubarkan oleh presiden untuk memungkinkan pemilihan umum lebih awal. Sistem politik dari tahun 1959 hingga 2002 dengan demikian secara struktural tidak stabil. Parlemen super kebal terhadap segala upaya pemecatan oleh presiden, tetapi memiliki kekuasaan sepihak untuk memberhentikan presiden. Ketidakseimbangan struktural ini berarti posisi presiden sangat rentan untuk diberhentikan atas kemauan MPR super-parlemen.

Dalam praktiknya, satu-satunya cara bagi sistem ini untuk memberikan stabilitas konstitusional adalah dengan presiden saat itu mendominasi parlemen. Ini menuntut pemisahan akuntabilitas antara anggota parlemen yang dipilih dan masyarakat pemilih dan penggantiannya dengan membuat presiden pada dasarnya “memilih” anggota parlemen yang pada gilirannya akan memilih atau memilih kembali presiden tersebut. Sistem ini mengharuskan pengabaian prinsip kedaulatan rakyat dan menggantikannya dengan kedaulatan pemimpin. Sistem ini hanya dapat berfungsi di luar semangat demokrasi substantif.

Presiden pertama yang menerapkan sistem ini, Sukarno, melakukannya dengan membatalkan pemilihan umum (yang dijadwalkan pada tahun 1960), melarang banyak partai dari proses politik, dan secara signifikan mengisi parlemen dengan para loyalis. Presiden kedua, Soeharto, mengelola sistem ini dengan screening “menyaring” semua calon legislatif guna menyingkirkan calon yang dinilai berpotensi kritis, melakukan campur tangan (cawe-cawe) di dalam masing-masing partai yang tersisa guna memastikan mereka tetap patuh dan kemudian secara efektif mencegah partai-partai baru agar tidak ikut serta dalam pemilihan umum.

Sistem ini menghasilkan sistem siklus tertutup, yaitu presiden menunjuk anggota parlemen yang akan dengan patuh memilihnya dan kemudian dia akan menunjuk atau mengizinkan mereka untuk mencalonkan diri lagi dan mereka akan memilihnya kembali dan seterusnya.

Pengharapan agar parlemen semacam itu akan menggantikan presiden yang sedang menjabat, menurut saya, adalah kenaifan yang sangat besar. Satu-satunya cara untuk membuka lingkaran tertutup ini adalah melalui kerusakan besar dalam tatanan sosial-ekonomi dan politik masyarakat. Sayangnya, ini terjadi dua kali di bawah pengaturan konstitusional 1959-2002 ini, yaitu pada tahun 1965 dan sekali lagi pada tahun 1998. Intinya, bangsa dan warga negara harus menanggung krisis yang sangat menyakitkan dengan kerugian ekonomi yang besar serta penderitaan pribadi dan komunal. Ini merupakan harga amat sangat tinggi yang harus dibayar bangsa dan rakyatnya hanya untuk menghasilkan perubahan dalam kepemimpinan nasional. Keluhan Apapun yang diutarakan akhir-akhir ini tentang biaya pemilihan umum demokratis negara itu sejak tahun 1999 menjadi sepele jika dibandingkan dengan kerugian yang dipikul oleh bangsa, ekonominya, dan warga negaranya pada tahun 1965 atau 1998.

Sebagai contoh, saya ingat betul bahwa nilai kerugian kapitalisasi pasar dari satu perusahaan Indonesia yang tercatat di bursa, Ramayana Lestari (sektor ritel), lebih besar dari seluruh anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk Komisi Pemilihan Umum untuk menyelenggarakan pemilu 1999. Itu hanya satu perusahaan tingkat menengah. Saat itu, ketika saya bekerja di pasar modal Jakarta, saya menghitung bahwa orang Indonesia kehilangan lebih dari 90 persen dari penilaian aset mereka selama krisis moneter (Krismon) yang akhirnya menyebabkan kerontokan sistem pemerintahan sesaat pada tahun 1998. Sebaliknya, orang Australia kehilangannya “hanya” 30 persen. Kerugian Indonesia ini belum memperhitungkan hilangnya nyawa dan kerusakan pada tatanan sosial masyarakat yang terjadi selama kekacauan tahun 1998. Bayangkan betapa banyak rasa sakit yang dapat dihindari jika sistem politik tidak berdasarkan lingkaran tertutup, melainkan mampu menanggapi kebutuhan dan tuntutan warga negara.

Negara yang adil dan makmur: sistem pemerintahan memang penting

Izinkan saya memulai bagian ini dengan ucapan mea culpa yang besar. Pada masa reformasi konstitusi (1999 – 2002), saya mendukung konsensus umum bahwa para pemilih harus memilih presiden. Seperti banyak orang, saya juga berpendapat bahwa konstitusi dulu menganut konsep sistem pemerintahan presidensial. Namun proses pemecatan Presiden Wahid mulai membuka mata saya tentang kekeliruan pandangan dulu.

Pada saat para anggota parlemen hendak memulai sesi besar pertama dalam proses pemberhentian presiden, Presiden Wahid justru bertanya dulu, “apakah ini pengadilan hukum atau pengadilan politik?” Pertanyaan yang sangat sederhana ini, yang disampaikan dengan nada lugas khas Presiden Wahid, bagaikan tamparan di wajah saya untuk yang menyadarkan diri bahwa ini jelas-jelas proses politik yang dikemas sebagai hukum. Inilah esensi sistem parlementer yang sedang berlaku, yang meminta pertanggungjawaban legislatif terhadap kepala pemerintahan, bukan sistem presidensial. Di sinilah saya menyadari bahwa Indonesia tidak pernah menerapkan sistem presidensial. Pengertian umum ini adalah mitos nasional kolektif.

Setelah tahun 2002 dan dengan sistem presidensial baru yang berlaku, saya mulai merasa ragu terhadap sistem baru ini. Ketika saya membahas keraguan ini dengan teman-teman Indonesia, kebanyakan hanya menjawab, ‘tentu saja anda akan berkata begitu, Anda berasal dari negara dengan sistem parlementer’. Hal ini menantang saya untuk merenungkan lebih jauh tentang sumber keraguan ini.

Hasil dari perenungan ini mengikuti beberapa langkah. Yang pertama adalah menelaah pernyataan visi Indonesia sebagaimana tercantum dalam konstitusi. Antara lain, Pembukaan Konstitusi menyatakan bahwa Indonesia harus menjadi negara yang adil dan makmur. Saya belum pernah bertemu orang Indonesia yang tidak menganggap ini sebagai tujuan nasional utama, jadi saya menilai ini adalah tempat yang tepat untuk memusatkan perhatian, mengidentifikasi keunggulan atau tidak sistem presidensial baru ini untuk mengantar Indonesia menjadi negara adil dan makmur.

Langkah selanjutnya adalah mempertimbangkan apakah mungkin ada hubungan antara sistem pemerintahan konstitusional yang diterapkan dan potensi negara tersebut untuk menjadi adil dan makmur.

Ini memerlukan definisi tentang adil dan makmur. Ada banyak metrik yang dapat diterapkan untuk mengukur adil dan makmur. Untuk analisis ini saya memilih indeks Freedom in the World yang telah diukur Freedom House sejak tahun 1970-an sebagai dasar mengidentifikasikan negara yang adil. Negara yang adil adalah negara yang warganya menikmati kebebasan penuh. Untuk mengukur aspek kemakmuran, saya menggunakan Indeks Pembangunan Manusia UNDP.

Negara yang warganya menikmati tingkat pembangunan manusia yang sangat tinggi dianggap makmur. Dengan demikian untuk diklasifikasikan sebagai adil dan makmur, warga negara suatu negara harus menikmati kebebasan penuh dan pembangunan manusia yang sangat tinggi. Kalau negara hanya berhasil dengan salah satu dari kedua metrik ini tidak cukup untuk dicatat negara adil dan makmur.

Langkah selanjutnya adalah memeriksa perbandingan negara. Untuk melakukannya, saya memilih 40 negara besar yang menerapkan sistem presidensial (di mana presiden merangkap sebagai perdana menteri dan dipilih oleh pemilih, bukan parlemen). Kelompok kedua adalah 40 negara yang terdiri dari negara-negara yang kepala negaranya dapat berupa presiden yang dipilih atau ditunjuk atau beberapa bentuk monarki, namun dalam setiap negara ini perdana menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Tabel di bawah ini mengidentifikasi negara mana yang adil dan makmur dan dikelompokkan berdasarkan sistem pemerintahan yang diterapkan.

Hasil ini sungguh mencengangkan dan setiap kali saya berbagi dengan teman-teman Indonesia, mereka kaget. Lima dari enam anggota klub adil dan makmur di antara sistem presidensial telah merdeka selama lebih dari 200 tahun. Siprus adalah bungsu dari kelompok ini dan akan merayakan 65 tahun kemerdekaan tahun ini. Selain itu semua anggota kelompok ini, kecuali Siprus, adalah negara-negara berbasis imigran dari kawasan Amerika.

29 negara adil dan makmur, yang memiliki jabatan khusus perdana menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen, memiliki latar belakang sejarah dan politik yang sangat beragam. Negara-negara tersebut meliputi negara-negara demokrasi yang telah lama berdiri di Eropa Barat, negara-negara bekas komunis di Eropa Timur yang baru menikmati kemerdekaan selama 35 tahun, beberapa negara Asia serta beberapa negara berbasis imigran dari Amerika dan Australasia. Lebih jauh lagi, daftar 29 negara ini tidak lengkap. Ada beberapa negara termasuk kepulauan kecil yang tidak termasuk dalam daftar 40 negara ini namun sudah mencapai status adil dan makmur.

 

a table of data

Mengenai masalah hakikat dan pembentukan kepala negara (apakah presiden atau raja), tabel berikut menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang jelas antara kepala negara dan pencapaian status sebagai negara yang adil dan makmur. Oleh karena itu, cukup wajar untuk menyimpulkan bahwa posisi kepala negara dalam konstitusi memiliki hubungan minim atau bahkan tidak ada dengan capaian suatu negara sebagai adil atau makmur.

 

a table of data

Pertanyaan berikutnya adalah apakah hasil mengenai posisi terpisah antara kepala negara dan seorang perdana menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen mencerminkan suatu kebetulan atau justru sebab akibat. Jawaban terhadap pertanyaan ini memerlukan makalah terpisah, tetapi berikut ini adalah peringatan spoiler.

Analisis saya berbeda dengan penerapan lensa integritas untuk memahami dinamika operasional setiap sistem konstitusional, mengungkapkan kelemahan/keretakan integritas mendasar dalam sistem presidensial yang menurut saya berkontribusi pada kesulitan bagi negara-negara yang menggunakan sistem tersebut untuk tumbuh menjadi adil dan makmur. Jadi menurut saya ada hubungan sebab akibat antara memiliki perdana menteri yang berdedikasi yang bertanggung jawab kepada parlemen dan prospek negara tersebut menjadi adil dan makmur.

Faktor tambahan yang perlu dipertimbangkan, tentu saja mengingat perdebatan terkini di Indonesia tentang reformasi tata kelola di tingkat subnasional, adalah apakah penerapan sistem presidensial atau parlementer di sistem subnasional lebih baik dalam hal mendorong tercapainya masyarakat yang adil dan makmur di komunitas subnasional ini. Dalam hal ini diperlukan lebih banyak penelitian tentang masalah ini.

Perkembangan tambahan mengenai tata kelola di Indonesia

Pada tanggal 2 Januari 2025 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang sungguh bersejarah. Pasal ini menetapkan bahwa syarat untuk dicalonkan sebagai presiden adalah seorang bakal calon harus menunjukkan dukungan dari minimal 20 persen dari partai atau gabungan partai dalam DPR atau 25 persen dari dukungan pemilih pada pemilihan sebelumnya dari partai atau gabungan partai. Dengan menetapkan ambang batas kelayakan yang sangat tinggi tersebut, maka undang-undang ini pada dasarnya membatasi jumlah calon yang dapat dicalonkan sebagai presiden dengan mendorong “kartelisasi” partai-partai untuk mendukung kandidat tertentu dan juga untuk mencegah pembentukan koalisi alternatif.

Selain itu, proses ini cenderung menghabiskan banyak waktu dan energi politik untuk menciptakan “koalisi” di antara para pemimpin partai dan lebih sedikit energi dan waktu untuk menyusun program aksi yang koheren. Proses ini juga menciptakan koalisi yang tidak koheren dalam hal ideologi dan arah kebijakan. Dari konteks Australia, bayangkan koalisi yang terbentuk antara, misalnya, Partai One Nation dan Partai Hijau!!

Yang membuat putusan ini semakin bersejarah adalah bahwa pasal ini telah digugat sekitar 33 kali sebelumnya. Dalam setiap kasus, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pemohon. Dengan putusan ini, semua partai yang memenuhi syarat untuk mengajukan calon anggota untuk pemilihan legislatif di DPR akan memiliki hak untuk mengajukan calon presiden.

Mengingat Indonesia akan terus menerapkan sistem pemilihan presiden dua putaran, tidak ada risiko bahwa seorang kandidat dapat memenangkan pilpres dengan, katakanlah, 30 persen suara. Siapa pun yang menang tetap harus meraih lebih dari 50 persen suara. Ini Akan terus memastikan pemilihan calon yang belum tentu paling populer, melainkan yang lebih penting adalah calon yang paling dapat diterima. Tampak di luar harapan kalau MK dapat mengeluarkan putusan ini di bawah pemerintahan presiden sebelumnya. Justru MK telah menolak beberapa petisi semacam itu untuk membatalkan pasal ini.

Putusan Mahkamah Konstitusi ini merupakan langkah maju paling signifikan dalam memajukan demokrasi Indonesia dalam 15 tahun sejak pengadilan sebelumnya menyatakan pada akhir tahun 2008 bahwa daftar calon legislatif yang secara efektif tertutup untuk pemilihan parlemen tidak konstitusional. Dengan demikian, pengadilan menciptakan sistem daftar calon legislatif yang sepenuhnya terbuka di mana pemilih menentukan tidak hanya partai mana yang mereka pilih tetapi juga calon mana dari partai pilihannya yang mereka sukai.

Perkembangan terkini dalam hal memajukan demokrasi Indonesia ini benar-benar disambut baik terutama pada titik sejarah ini ketika di berbagai daerah di dunia kemunduran demokrasi merupakan pengalaman yang lebih umum.

Di sisi lain, Transparency International akan merilis studi indeks persepsi korupsi tahunannya untuk tahun 2024 pada pertengahan Februari 2025. Perbaikan nilai dan peringkat Indonesia yang terus-menerus selama satu generasi telah membuat Indonesia bangkit dari posisi terbawah dunia pada akhir tahun 1990-an hingga melewati ambang batas bergabung dengan separuh negara teratas pada tahun 2019. Ini adalah pencapaian nasional yang benar-benar bersejarah yang seharusnya dibanggakan oleh semua komponen masyarakat.

Disayangkan sekali sejak 2019, Indonesia mengalami beberapa kemunduran dan sudah turun ke posisi pada tahun 2014 – penurunan yang serius. Pada tahun 2019, negara ini berada di posisi ketiga terbaik di ASEAN dan mendekati posisi kedua, Malaysia. Sejak saat itu, Indonesia tertinggal dari Thailand, Vietnam, dan Timor Leste. Sementara itu, Filipina yang mulai pulih kini telah menyusul Indonesia. Mempertimbangkan pengabaian yang jelas terhadap isu-isu seperti benturan kepentingan sebagaimana disaksikan dalam musyawarah Mahkamah Konstitusi pada akhir tahun 2023, negara ini perlu bersiap untuk penurunan lain dalam peringkat globalnya.

Pemerintah baru dan para komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru diangkat perlu meningkatkan serangkaian inisiatif substantif dan tindak lanjut implementasi untuk membalikkan tren negatif yang sangat berbahaya ini. Upaya untuk meningkatkan tingkat investasi dan pertumbuhan ekonomi akan dirusakkan oleh risiko yang terkait dengan keharusan beroperasi di lingkungan yang korup.

Beban ideologis terhadap sistem parlementer Indonesia

Terdapat penolakan populer terhadap sistem parlementer di Indonesia meskipun, seperti disebutkan di atas, negara ini tidak pernah menerapkan sistem presidensial sebelum tahun 2002. Ada dua argumen utama yang diajukan untuk menolak sistem pemerintahan parlementer. Yang pertama adalah argumen bahwa sistem tersebut dianggap gagal dan tidak sesuai untuk negara seperti Indonesia. Bukti yang diajukan selalu berasal dari tahun 1950-an. Perspektif yang paling umum adalah bahwa era tersebut penuh dengan ketidakstabilan besar karena pemerintah naik dan turun silih berganti.

Apakah ini penilaian yang tepat? Selama sembilan tahun di mana Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 diterapkan, Indonesia memiliki tujuh perdana menteri. Sebagai perbandingan, Australia memiliki delapan perdana menteri selama dekade pertama Federasinya. Pada saat yang sama Indonesia memiliki satu presiden sementara Australia memiliki dua raja dan empat gubernur jenderal. Selain itu, masalah pemberontakan daerah yang meletus pada akhir tahun 1950-an tidak terlalu disebabkan oleh sistem parlementer, melainkan lebih disebabkan oleh tidak adanya perwakilan daerah. Mengingat 65 persen anggota parlemen dipilih dari wilayah Jawa maka mereka yang tinggal di luar Jawa tidak memiliki pengaruh politik yang berarti untuk menyeimbangkan kepentingan-kepentingan ini. Dewan daerah yang diusulkan dalam rancangan undang-undang dasar yang dibatalkan yang disusun oleh Majelis Konstituante pada akhir tahun 1950-an, dipastikan mengatasi masalah perimbangan kedaerahan ini sebagaimana yang terus terjadi di negara-negara lain yang secara geografis heterogen seperti Australia.

Di antara penjelasan mengenai bertahannya sikap negatif terhadap sistem parlementer di Indonesia adalah bahwa pandangan ini telah diajarkan kepada generasi-generasi setelah 1959 dan dengan sedikit sekali pandangan yang menentang. Yang menambah bobot ideologis lebih lanjut untuk menolak sistem parlementer adalah bahwa sistem ini biasanya dicap sebagai era demokrasi liberal dan sebagaimana disebut di atas, ini merupakan penghinaan serius dalam konteks peribahasa di Indonesia.

Kelompok kedua yang menolak sistem parlementer melakukannya bukan dengan perspektif bahwa sistem itu terlalu demokratis untuk diterapkan dalam masyarakat seperti Indonesia, melainkan karena dianggap tidak demokratis. Banyak teman-teman saya di masyarakat sipil, yang sebagian besar berpendidikan di Amerika, pada masa Reformasi dulunya pernah membuat klaim ini karena mereka menuntut agar presiden harus dipilih secara langsung, dan bahwa hanya pemilihan presiden secara langsung merupakan sistem yang demokratis. Setiap tinjauan dasar terhadap demokrasi yang berlaku di dunia akan menunjukkan bahwa pandangan ini jelas tidak benar karena mayoritas negara-negara demokrasi ini jelas menerapkan salah satu bentuk sistem parlementer.

Mengingat pengalaman kehidupan politik kolektif masyarakat Indonesia dari akhir tahun 1950-an hingga akhir tahun 1990-an, maka dapat dipahami mengapa mereka percaya bahwa presiden harus tunduk kepada rakyat untuk dipilih.

Hal ini juga berlaku di tingkat daerah. Orang-orang tua akan mengingat bahwa selama era Orde Baru, DPRD-DPRD provinsi, kabupaten dan kota terlibat dalam pemilihan gubernur, bupati dan walikota. Namun, pemerintah pusat juga terlibat dalam proses ini dan untuk semua tujuan praktis, calon pilihannya selalu didukung oleh dewan daerah dengan persetujuan terhadap calon tersebut. Jadi, seperti proses pemilihan lainnya selama Orde Baru, pemilihan oleh DPRD ini tidak lulus uji prinsip jujur dan adil. Keputusan bersejarah DPRD Provinsi Riau pada tahun 1985 untuk tidak memilih calon pilihan pemerintah pusat merupakan insiden yang menonjol selama tahun-tahun tersebut.

Pengalaman-pengalaman bersejarah ini juga kemungkinan akan memperkuat pandangan bahwa sistem parlementer tidak demokratis.

Pendirian Presiden Prabowo untuk mulai melawan gelombang perlawanan besar terhadap sistem parlementer, termasuk di tingkat daerah, akan membutuhkan pendidikan serius kepada masyarakat dan pemilih serta banyak upaya untuk menanggalkan beban ideologis yang ditujukan terhadap model konstitusional ini.

Pandangan pribadi

Gagasan untuk mengembalikan Indonesia ke suatu bentuk sistem parlementer, setidaknya pada awalnya di tingkat sub-nasional, patut dipertimbangkan. Di tingkat provinsi, usulan perubahan ini menawarkan peluang bersejarah untuk mengatasi satu tantangan terhadap integritas politik. Ini terkait dengan posisi gubernur di sebuah provinsi. Selama beberapa dekade, gubernur harus beroperasi di bawah dua garis komando. Pertama-tama, mereka adalah wakil pemerintah pusat di tingkat provinsi sebagai kepala wilayah provinsi. Pada saat yang sama, mereka juga merupakan wakil rakyat, yang dipilih oleh pemilih setempat sebagai kepala pemerintah provinsi. Untuk mematuhi dua garis komando yang berbeda secara efektif, tentu saja, merupakan mission impossible.

Mengingat pemerintah pusat tidak dapat lagi memberhentikan pejabat terpilih, sementara para pemilih dapat menyingkirkan pemimpin terpilih saat mereka mau dipilih kembali dan DPRD setempat juga dapat mempersulit kehidupan politik seorang gubernur, maka respons yang sangat rasional dari para gubernur adalah dengan berfokus pada akuntabilitas mereka kepada orang-orang di provinsi mereka. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika pemerintah pusat telah berupaya untuk mencabut pemilihan gubernur secara langsung sehingga menjadi posisi yang ditunjuk.

Usulan untuk mengubah tata cara pemilihan gubernur dapat memberikan kesempatan untuk menyelesaikan anomali ini. Hal ini memerlukan pemisahan tugas gubernur sebagai kepala wilayah provinsi dengan menunjuk seseorang untuk melakukan tugas ini oleh pemerintah nasional. Mereka mungkin masih dapat disebut gubernur. Di bawah sistem parlementer yang baru, DPRD provinsi Akan memilih seseorang untuk menjabat sebagai kepala pemerintah provinsi dan orang tersebut akan bertanggung jawab kepada DPRD. Istilah baru untuk posisi ini perlu ditetapkan – misalnya dengan apa yang di Malaysia dikenal sebagai menteri besar atau mungkin posisi yang dikenal dari zaman pra-penjajahan seperti patih. Ketua DPRD provinsi tidak akan berubah tugas dan fungsi dan tetap mengetuai badan legislatif di provinsi tersebut.

Pemisahan kekuasaan antara gubernur sebagai kepala daerah provinsi dan kepala pemerintah provinsi yang bertanggung jawab kepada DPRD provinsi mereka juga akan memungkinkan reformasi berharga lainnya. Ini termasuk menjadikan gubernur yang baru dibentuk bertanggung jawab untuk mengawasi sistem kepegawaian provinsi, sehingga lebih menjaga agar pegawai negeri setempat diperlakukan secara profesional berbasis kemampuan dan bebas dari ancaman intervensi partisan oleh kepentingan politik setempat.

Jika ada pembentukan kembali sistem parlementer di Indonesia, termasuk di tingkat sub-nasional, maka hampir dipastikan tidak akan berbentuk sistem parlementer ala Westminster sebagaimana dipahami di Australia. DNA tradisi parlementer Indonesia berasal dari benua Eropa, bukan Inggris. Ini berarti bahwa para menteri, bahkan jika mereka terpilih menjadi anggota parlemen, harus meninggalkan parlemen untuk bertugas di kabinet.

Ini juga berarti bahwa banyak menteri sebenarnya tidak merupakan politisi yang dipilih, melainkan dapat berasal dari latar belakang profesional apa pun. Situasi yang sama akan terjadi pada gubernur, bupati atau wali kota yang sebelumnya dipilih menjadi anggota DPRD mereka. Mereka harus mengundurkan diri dari DPRD dulu agar dapat bertugas di posisi baru.

 

Penulis digambarkan di tingkat atas di depan DPR RI.

Seorang perdana menteri Indonesia tidak diperkirakan akan bekerja di dalam gedung parlemen ini. Demikian pula untuk para menterinya. Masing-masing akan bekerja di dalam komplek kementeriannya. Perdana menteri diperkirakan akan didukung oleh sekretariat kabinet, sedangkan presiden sebagai kepala negara akan didukung oleh sekretariat negara.

Poin terakhir tentang pemilihan presiden dan sistem parlementer. Pada saat kemerdekaan Indonesia, hanya ada dua kelompok besar sistem pemerintahan yang diterapkan di dunia. Yang pertama adalah sistem presidensial eksekutif di mana presiden dipilih secara populer dan meragkap jabatan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Yang lainnya adalah sistem parlementer di mana kepala negara (baik presiden yang ditunjuk maupun raja yang diwarisi) berbeda orang daripada kepala pemerintahan (perdana menteri) yang bertanggung jawab kepada parlemen.

Gagasan bahwa kepala negara dapat dipilih dan bahwa jabatan perdana menteri yang terpisah, yang bertanggung jawab kepada parlemen, belum ada. Sistem semi-presidensial (kadang-kadang disebut sistem perdana menteri-presidensial) yang baru ini diciptakan dengan konstitusi Perancis tahun 1958.

Saya ingat beberapa diskusi mencerahkan tentang isu-isu konstitusional dengan mendiang Dr. Adnan Buyung Nasution. Di antara pokok-pokok yang beliau kemukakan adalah bahwa UUD 1945 yang asli, sebagaimana diterapkan antara tahun 1945 dan 1949, merupakan bentuk embrio dari sistem semi-presidensialisme. Misalnya, jika presiden dipilih secara terbuka, tidak diragukan lagi bahwa pemenangnya adalah Presiden Sukarno. Cukup tepat untuk mengamati bahwa orang Indonesia menginginkan dan mengharapkan agar presiden mereka menjadi lebih dari sekadar simbol.

Presiden Sukarno memang sering dikutip menyebut dirinya sebagai penyambung lidah rakyat. Saya yakin ini mencerminkan pandangan publik bahwa presiden seharusnya lebih dari sekadar pemimpin simbolis. Namun bagaimana menjadi presiden sebagai penyambung lidah rakyat jika dipilih oleh rakyat? Di sini Bahasa Indonesia menawarkan jawaban yang paling indah. Dalam Bahasa Indonesia istilah untuk memilih dan berbicara itu sama, yaitu suara. Alangkah cocok kalau seseorang presiden menjadi penyambung lidah rakyat dengan diberikan “suara” oleh rakyat tersebut.

Namun, agar Indonesia dapat menikmati jalan termudah untuk menjadi negara yang adil dan makmur, maka Parlemen harus dijadikan tanggung jawab untuk membentuk dan menggantikan pemerintah sesaat yang dipimpin seorang perdana menteri. Posisi presiden tetap aman dan berada di atas pertikaian politik dalam kawah candradimuka bernama parlemen.

Secara singkat, pisahkanlah posisi kepala negara (presiden) dan kepala pemerintahan (perdana menteri). Kemudian presiden dipilih secara terbuka dengan menerapkan sistem yang diuraikan dalam putusan terbaru Mahkamah Konstitusi dan perdana menteri akan bertanggung jawab ke parlemen.

Di tingkat provinsi, pisahkan posisi kepala provinsi (gubernur) dari posisi kepala pemerintahan provinsi (yang dapat disebut menteri besar atau patih). Gubernur ditunjuk oleh pemerintah pusat sementara kepala pemerintah provinsi dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada DPRD provinsi.

Di tingkat kabupaten/kota, kepala pemerintah daerah dapat dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada DPRD kabupaten/kota setempat.

 

 

Kevin telah menjadi murid Asia Tenggara dan Indonesia selama 45 tahun. Dengan masa tinggal selama 35 tahun di Indonesia, beliau telah menempati berbagai macam posisi seperti diplomat, pialang saham, akademisi dan aktivis NGO.

Sign up to our twice-weekly Media Update