Pentingnya kepemimpinan perempuan di lingkungan sekolah untuk mengurangi kesenjangan gender dalam pendidikan

workshop for women in Indonesia

Artikel ini disusun secara kolaboratif bersama Eunice Sari, industry fellow terbaru di AIC. Beliau telah mendalami pentingnya nilai teknologi bagi pendidikan sejak awal sebagai pemandu bahasa, hingga sekarang menjadi salah satu pendiri perusahaan yang memadukan desain, pengalaman pengguna (user experience–UX), dan teknologi digital.

Sistem pendidikan Indonesia membutuhkan sebuah perubahan, dan kehadiran lebih banyak pemimpin perempuan di lingkungan sekolah dapat mendorong terwujudnya hal tersebut.

English

Jajak pendapat oleh INOVASI di 16 wilayah Indonesia menguak berbagai masalah yang ditimbulkan dari ketimpangan gender bagi para guru, sekaligus menunjukkan berbagai manfaat yang bisa diperoleh dengan peningkatan kepemimpinan perempuan di lingkungan pendidikan.

Survei tersebut menemukan bahwa para kepala sekolah perempuan memiliki kemampuan memimpin yang lebih mumpuni, termasuk dalam pengelolaan sekolah, literasi, dan mampu menghadirkan lingkungan belajar yang suportif baik bagi staf maupun siswanya. Mereka juga memiliki perhatian lebih kepada peningkatan profesionalisme para guru, peningkatan pembelajaran siswa, serta peningkatan fasilitas perpustakaan.

Sedangkan dalam program INOVASI yang berbeda di Kalimantan Utara (Kaltara), saya beruntung bisa mendapatkan pengalaman langsung bekerja bersama para guru, para kepala sekolah, para instruktur bagi tenaga pendidik, dan pejabat pemerintahan setempat. Dari sanalah saya mengetahui bahwa para pengajar terkendala saat ingin meningkatkan kemampuan profesional maupun keterampilan teknologi.

Salah satu tantangan di Indonesia adalah meskipun mayoritas guru atau 70 persennya adalah perempuan, tetapi hanya 30 persen yang berada di level kepala sekolah. Jumlah ini bahkan lebih rendah di sekolah berbasis keagamaan, yakni 20 persen saja. Ini menyebabkan realisasi pencapaian kesetaraan gender sesuai poin ke-5 dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) di Indonesia tercatat cukup rendah.

Begitu pula untuk poin ke-4 dalam SDGs terkait pendidikan. Terdapat indikator khusus yang menunjukkan perbandingan jumlah guru terlatih berdasarkan gender, serta perbandingan jumlah siswa siswi pada jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi.

Pencapaian kesetaraan gender dalam bidang pendidikan di Indonesia berjalan lambat karena berbagai faktor pelik yang membatasi perempuan dari potensi maksimalnya. Salah satunya adalah kesetaraan akses pendidikan. Oleh karena itu, penanggulangan masalah ini dipastikan mampu memperbesar peluang perempuan untuk berkontribusi penuh dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Sebagai pemimpin, perempuan kerap dibebani dengan tanggung jawab tambahan, termasuk dari keluarga. Mereka tidak mendapatkan dukungan yang dibutuhkan saat dihadapkan dengan tanggung jawab sebagai pemimpin, dan tuntutan sosial sebagai ibu maupun istri. Situasi inilah yang kerap membuat mereka enggan untuk maju sebagai pemimpin. Padahal peluang ini adalah kesempatan belajar bagi para perempuan untuk terus meningkatkan kemampuan dan kepercayaan diri. Terlebih pendidikan tinggi seringkali dilihat penting untuk kenaikan jabatan dan kesejahteraan.

Banyak yang menempuh pendidikan hanya untuk tujuan jangka pendek, tanpa benar-benar memahami bahwa wawasan dan pengetahuan baru yang diperoleh merupakan bagian dari perjalanan pembelajaran itu sendiri. Tidak sedikit guru perempuan yang terus bertahan memberikan pengajaran secara tradisional hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Saya ingin melihat terjadinya perubahan paradigma, dari pendidikan demi gelar atau ijazah bergeser menjadi pendidikan sebagai bagian dari pengalaman belajar sepanjang hayat. Pengalaman yang mampu membuat seseorang bertumbuh di dalam masyarakat.

Inilah yang menjadi semangat saya membantu banyak orang dalam berbagai fase hidupnya agar bisa mengakses, atau dapat mempelajari hal-hal yang menarik bagi mereka dengan cara yang membangkitkan minat.

Indonesia memiliki catatan sejarah ketidaksetaraan gender yang sangat panjang, yang turut dilestarikan oleh sikap-sikap patriarki. Oleh karenanya, salah satu pahlawan nasional yang berani menentang diskriminasi gender pun harus selalu kita kenang.

Lebih dari seabad lalu, Kartini adalah seorang perempuan yang memperjuangkan emansipasi perempuan demi kesempatan memperoleh pendidikan. Kini, kendati setiap anak di Indonesia wajib mengenyam pendidikan hingga 12 tahun, masih banyak yang tidak mampu mendapatkan pendidikan yang layak karena pelbagai alasan. Ketiadaan pemimpin yang teguh dan berdaya adalah salah satunya.

Sejumlah langkah pun harus diambil. Termasuk yang terjadi akibat pandemi COVID-19. Seperti saat pemerintah menyusun Kurikulum Darurat yang memberikan para guru keleluasaan dalam proses belajar mengajar, agar siswa tidak tertinggal pelajaran. Beraneka perangkat daring pun marak digunakan, seperti platform kuis digital, pesan suara, dan foto.

Pemerintah juga memperkenalkan Kurikulum Independen sebagai panduan nasional yang lebih berpusat kepada siswa, serta proses belajar mengajar yang mengedepankan kreativitas, pemikiran kritis, dan inovasi. Kurikulum Independen telah diadopsi oleh lebih dari 140 ribu sekolah di seluruh Indonesia. Ini menjadi awal yang baik, dan masih bisa dikembangkan lagi.

Para tenaga pendidik dapat terus meningkatkan kompetensi profesional mereka, termasuk dalam pemanfaatan teknologi dan rancangan pengajaran (instructional design). Sekolah pun harus menyediakan ruang bagi para tenaga pendidik untuk terus belajar baik secara individu maupun kolaboratif, serta memperbesar dukungan bagi para guru maupun siswanya agar terus mengeksplorasi cara-cara belajar yang baru.

Selain itu, salah satu program AIC PAIR yang didukung oleh DFAT juga mendalami tentang bagaimana meningkatkan kualitas para tenaga pendidik sekolah kejuruan, dengan memastikan terjalinnya kerja sama antara para penyusun kebijakan, pelaku industri, lembaga pendidikan, dan para siswa agar mencapai kemajuan pendidikan yang signifikan.

Saya sungguh meyakini bahwa pendidikan adalah proses sepanjang hayat yang harus tersedia bagi semua orang. Apa pun latar belakangnya. Di mana pun mereka berada. Dan salah satu cara untuk mewujudkannya adalah dengan mendukung siapa pun yang mampu memimpin, serta mampu menginspirasi yang lain untuk terus belajar.

Foto utama: Dari Dr Eunice Sari (mengenakan kaus hitam) saat memfasilitasi lokakarya perempuan di Jawa Barat.

Picture of Dr Eunice Sari

Industry Fellow
The Australia-Indonesia Centre

Picture of Helen Brown

Kepala Komunikasi dan Penjangkauan
The Australia-Indonesia Centre

Sign up to our twice-weekly Media Update