Perdagangan Indonesia tahun 2021 pecah rekor
Setelah mengalami kinerja yang lesu selama bertahun-tahun, sektor ekspor Indonesia kembali bergairah.
Indonesia menghasilkan $US 231,54 miliar dalam bentuk ekspor barang. Ini rekor sejarah dan merupakan peningkatan 42 persen dari tahun 2020. Hal ini menyebabkan surplus perdagangan sebesar $US 35,34 miliar pada tahun 2021. Angka ini tertinggi sejak tahun 2006.
Meskipun hal ini sebagian besar disebabkan oleh lonjakan harga komoditas dalam ekspor tradisional seperti batubara dan minyak sawit, namun perubahan tersebut juga didorong oleh peningkatan volume yang besar pada nikel dan baja olahan.
Perkembangan penting lainnya adalah dalam hubungan perdagangan dengan Australia, dimana ada peningkatan nilai impor melebihi 100 persen. Ekspor terbesar ketiga Australia ke Indonesia pada tahun 2021 adalah konsentrat bijih besi yang diperkirakan digunakan dalam industri pembuatan baja. Selain itu, ada juga perubahan positif dalam perdagangan gandum, dimana Australia meraih kembali posisi sebagai penyedia paling besar untuk Indonesia. Peningkatan volume perdagangan pada komoditas tradisional ini mungkin bisa menjadi langkah awal untuk kemitraan berbasis powerhouse IA-CEPA yang sangat dinanti.
Ekspor paling tinggi sebelum Tahun 2021 adalah tahun 2011 dengan nilai $US 203 miliar. Setelah itu nilai ekspor cenderung turun atau paling fluktuatif.
Sedangkan dari sisi impor barang, puncak impor terjadi pada tahun 2012.
Hal ini juga diikuti oleh penurunan tajam dan perbaikan singkat sekitar tahun 2018. Berbeda dengan ekspor barang, pertumbuhan impor barang tahun 2021 tidak terlalu signifikan.
Hasil dari perkembangan ini pada tahun 2021 membuat Indonesia menikmati rekor surplus perdagangan hampir $US 60 miliar.
Perubahan dramatis dalam perdagangan selama tahun 2021 seharusnya menunjukkan bahwa sektor eksternal Indonesia berkontribusi positif terhadap pemulihan ekonomi nasional tahun ini.
Memperhatikan data utama
Dengan mengacu pada data ekspor barang, hampir 56 persen ekspor barang pada tahun 2021 terdiri dari 10 barang utama. Ini menandai konsentrasi penting dalam basis ekspor negara.
Tabel 1 menguraikan peningkatan yang cukup signifikan pada nilai tiga ekspor utama Indonesia, yaitu minyak sawit, batu bara, dan produk baja dan hasil nikel. Kedua produk pertama merupakan ekspor andalan Indonesia selama lebih dari satu dekade terakhir ini. Dalam kasus batubara, sebagian besar peningkatan nilai ekspor disebabkan oleh kenaikan harga yang signifikan sepanjang tahun 2021. Minyak sawit juga mengalami kenaikan harga yang signifikan tetapi terlihat bahwa peningkatan relatif juga terjadi pada hasil olahan minyak sawit dibandingkan dengan minyak sawit mentah sepanjang tahun.1
Pertumbuhan nilai ekspor produk berbasis nikel termasuk baja nirkarat jelas merupakan kisah pertumbuhan ekspor yang terkemuka dan bersejarah zaman ini. Selama sembilan tahun hingga 2021 nilai ekspor ini telah meningkat lebih dari 1.000 persen. Sebagian besar produk lain yang termasuk di antara 10 ekspor teratas telah mengalami beberapa peningkatan dibandingkan dengan tingkat ekspor selama lima tahun terakhir, tetapi perubahannya tidak signifikan.
Catatan khusus patut disampaikan tentang produk pakaian jadi dan aksesori pakaian, rajutan atau rendaan (HS 61) dan pakaian dan aksesori pakaian, bukan rajutan atau rendaan (HS 62) serta alas kaki (64). Rincian spesifik mengenai nilai ekspor tersebut hingga akhir tahun 2021 belum tersedia, namun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, bahkan pada tahun 2020, produk-produk tersebut diperkirakan masih dapat melebihi nilai ekspor minyak mentah dan minyak olahan. Pada tahun 2020 mereka masing-masing bernilai $US 3,4 miliar, $US 3,6 miliar dan lebih dari $US 4 miliar.
Secara historis ekspor minyak dan gas telah menjadi sangat penting bagi Indonesia, tetapi waktu emas migas sudah berlalu. Namun demikian penelitian yang dilakukan AIC mengenai sikap publik pada akhir 2016 mengungkapkan bahwa orang Indonesia masih percaya bahwa ekspor minyak dan gas penting bagi negara. Sayangnya pandangan ini sangat ketinggalan jaman. Pada puncaknya di tengah oil boom kedua pada tahun 1982, ekspor minyak dan gas merupakan 82 persen dari seluruh ekspor Indonesia. Namun setelah itu, pada saat pergantian abad, angka tersebut turun menjadi 23 persen. Meski kinerja ekspor sektor migas pada tahun 2021 membaik, nilai total ekspor sektor tersebut hanya merupakan lima persen dari seluruh ekspor Indonesia pada tahun 2021.
Walaupun transformasi dari ketergantungan pada ekspor minyak dan gas merupakan perkembangan yang signifikan, namun lebih penting dicatat bahwa transformasi Indonesia dari eksportir utama menjadi importir bersih minyak dan gas adalah lebih signifikan dari perspektif sejarah dan merupakan tren yang terus berkembang. Pada tahun 1982, Indonesia adalah pengekspor minyak bersih dengan nilai surplus $US 15 miliar, namun pada tahun 2000, surplus ini turun menjadi $US 8 miliar. Angka ini terus menurun secara fluktuatif hingga mencapai defisit $US 13 miliar pada tahun 2021. Gambar 3 di bawah ini menguraikan perjalanan Indonesia yang terus-menerus dari pengekspor bersih minyak dan gas menjadi importir.
Berkaitan dengan perkembangan impor barang Indonesia, Tabel 2 di atas menguraikan 10 besar impor negara tersebut.
Tabel 2 ini mengungkapkan bahwa barang modal adalah komponen terpenting dari total impor. Barang setengah jadi dan bahan mentah yang digunakan untuk pemrosesan lebih lanjut juga penting. Peningkatan impor farmasi yang sangat tajam pada tahun 2021 tidak mengherankan mengingat krisis COVID-19 yang sedang berlangsung. Melihat kembali ke belakang, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan peningkatan yang tidak signifikan dalam impor farmasi selama tahun 2020 dibandingkan dengan tahun 2019. Komponen sektor farmasi yang mengalami peningkatan besar selama tahun 2020 adalah fraksi darah untuk proses biotek (HS 30021500), vaksin serta obat-obatan lain secara luas (HS 30049099). Ketiga komponen ini merupakan sepertiga dari seluruh impor farmasi pada tahun 2021.
Peningkatan tajam nilai impor migas, seperti halnya ekspor migas pada tahun 2021 lebih disebabkan oleh kenaikan harga daripada peningkatan volume.
Pada saat surplus perdagangan barang Indonesia akan mencapai rekor baru pada tahun 2021, negara juga diperkirakan akan menghasilkan rekor defisit perdagangan jasa, dengan perkiraan nilai sebesar $US 14 miliar. Yang menonjol dalam perkembangan ini adalah penurunan yang sangat tajam dalam nilai ekspor pariwisata Indonesia, yang secara tradisional merupakan ekspor jasa andalan untuk Indonesia. Dengan nilai yang melebihi $US 16 miliar pada tahun 2018 dan 2019, penerimaan dari sektor perjalanan dan pariwisata pada tahun 2020 turun menjadi lebih dari $US 3 miliar pada tahun 2020 dan pada tahun 2021 menjadi jauh di bawah $US 1 miliar. Terlepas dari memburuknya defisit perdagangan jasa, pertumbuhan surplus perdagangan barang sudah lebih dari cukup untuk melihat Indonesia menikmati surplus neraca berjalan yang signifikan untuk pertama kalinya sejak akhir resource boom.
Koridor perdagangan Indonesia-Australia
Bisa dibilang istilah yang paling sering digunakan dalam menggambarkan hubungan perdagangan antara Australia dan Indonesia adalah “underdone” (terlalu kecil). Data dari Australian Bureau of Statistics (ABS) mengungkapkan bahwa pada tahun 2020 Indonesia adalah pasar ekspor Australia terbesar ke-13 dan hanya sumber impor terbesar ke-16 bagi Australia. Dari perspektif Indonesia, BPS mengungkapkan bahwa pada tahun 2020 Australia adalah pasar ekspor terbesar ke-13 Indonesia dan sumber impor terbesar ke-8. Mengingat kedua negara ini bertetangga serta merupakan ekonomi yang saling melengkapi kebutuhan masing-masing, istilah underdone ini memang tampaknya tepat.
Namun 2021 telah menghasilkan beberapa dinamika baru.
Ekspor barang nonmigas Indonesia ke berbagai negara di dunia naik 42 persen selama tahun 2021 sementara impornya dari dunia selama periode yang sama naik 39 persen. Selama periode ini ekspor nonmigas Indonesia ke Australia hanya naik 24 persen sedangkan impor nonmigas dari Australia tumbuh 104 persen. Pertumbuhan impor yang luar biasa dari Australia ini merupakan pertumbuhan tercepat dari semua ekonomi pemasok utama ke Indonesia dan mengangkat Australia menjadi sumber terbesar ke-7 impor non-migas Indonesia.
Selama bulan Oktober 2021, Australia terlihat jelas naik menjadi pemasok terbesar ketiga, dengan hanya Tiongkok dan Jepang yang mengekspor lebih banyak ke Indonesia pada bulan itu. Australia memasok sebesar lima persen dari semua impor non-migas Indonesia pada tahun 2021, angka persentase yang tertinggi sejak tahun 2007.
Bisa dibilang perkembangan terbesar dalam ekspor Australia ke Indonesia pada tahun 2021 adalah pemulihan ekspor gandum setelah beberapa tahun memiliki nilai ekspor yang sangat buruk karena kekeringan di daerah-daerah utama penanaman gandum di Australia termasuk wilayah produksi terbesar, yaitu Australia Barat. Selama tahun 2021 Australia mendapatkan kembali posisinya sebagai pemasok terbesar ke Indonesia.
Sumber ekspor kedua terbesar adalah batubara. Hal ini patut dicatat aneh mengingat Indonesia merupakan pengekspor batubara terbesar atau terbesar kedua (dengan Australia). Salah satu keterangan adalah bentuk batubara yang diekspor adalah batubara yang digunakan untuk menghasilkan baja, bukan listrik (thermal coal). Indonesia sangat kaya akan batubara thermal. Ekspor terbesar ketiga pada tahun 2021 adalah konsentrat bijih besi. Ini merupakan ekspor yang semakin berkembang setiap tahun dari Australia ke Indonesia selama satu dekade terakhir. Kombinasi pertumbuhan ekspor bijih besi dan batubara, tentunya batubara kokas bukan thermal, dari Australia ke Indonesia mencerminkan pertumbuhan industri pembuatan baja Indonesia termasuk di antara kegiatan ekspornya.
Pergeseran nilai tukar perdagangan luar negeri
Nilai tukar perdagangan luar negeri (term of trade) mengukur rasio harga ekspor terhadap harga impor. Pada intinya, jika nilai tukar perdagangan untuk suatu negara meningkat, itu berarti harga relatif untuk apa yang diekspornya naik lebih cepat (atau sebaliknya turun lebih lambat) daripada harga rata-rata dari apa yang diimpornya.
OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development) menghasilkan data nilai tukar perdagangan luar negeri untuk semua anggotanya bersama dengan negara-negara lain seperti Indonesia yang merupakan mitra dialog khusus dengan OECD. Gambar 4 di bawah ini menggambarkan perkembangan nilai tukar perdagangan Australia, Indonesia dan OECD secara keseluruhan selama 25 tahun terakhir. Seri data ini menggunakan nilai relatif dari nilai tukar perdagangan masing-masing perekonomian dari tahun 1995 sebagai garis awal.
Salah satu ciri yang menonjol dari sektor eksternal kedua negara adalah tumbuhnya perbedaan dalam perkembangan nilai tukar perdagangan luar negeri mereka. Fitur menonjol dari data ini adalah bahwa nilai tukar perdagangan Australia memiliki tingkat pertumbuhan yang cukup luar biasa positif dalam hal perdagangan sejak pertengahan 1990-an, memuncak saat resources boom di sekitar tahun 2010-2011 dan kemudian menurun tajam sebelum akhirnya pulih dengan kuat selama lima tahun terakhir.
Secara kasar, Australia berada dalam posisi yang patut disyukuri karena negara itu mampu membeli lebih banyak dengan menjual lebih sedikit selama lima tahun terakhir ini. Data awal yang dirilis oleh Reserve Bank of Australia (RBA) menunjukkan penguatan lebih lanjut dari nilai tukar perdagangan Australia pada tahun 2021 hingga melebihi puncak pada saat resources boom.
Sering terlihat ada hubungan antara nilai tukar perdagangan dan kekuatan mata uang. Perlu dicatat bahwa saat terakhir nilai perdagangan Australia begitu tinggi sehingga nilai dolar Australia melebihi nilai dolar AS. Dalam waktu dekat mungkin akan ada beberapa tekanan untuk menguatkan nilai mata uang Australia.
Dalam kasus Indonesia, sebenarnya telah terjadi penurunan nilai tukar perdagangan yang lambat namun berlanjut sejak krisis keuangan Asia tahun 1997/1998. Menariknya seperti Australia, Indonesia adalah penerima manfaat dari resources boom, tetapi pada periode boom dan pasca boom tersebut tidak terlihat adanya perubahan yang signifikan dalam gambaran pergerakan nilai tukar perdagangannya. Kenaikan tajam dalam harga dua komoditas ekspor utamanya, minyak sawit dan batu bara selama tahun 2021 dapat menyebabkan beberapa perbaikan dalam hal nilai tukar perdagangan negara.
Green shoots for an IA-CEPA powerhouse?
Salah satu faktor pendorong utama yang mengawali perkembangan dan isi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia Australia (IA-CEPA) adalah gagasan untuk membangun poros kekuatan atau lebih dikenal dengan istilah powerhouse. Inti dari ide ini adalah bahwa dengan menggabungkan kekuatan ekonomi komparatif dari kedua negara, sehingga keduanya akan menikmati perkembangan lebih kokoh termasuk ekspor. Keduanya secara kolektif dapat meningkatkan potensi perdagangan ekspor mereka secara keseluruhan dan daya saing dengan seluruh dunia. Dalam banyak hal ini bukan ide baru. Memang perlu untuk dicatat bahwa keberhasilan program industrialisasi yang telah mendorong pembangunan ekonomi, kemakmuran dan kekayaan di negara-negara Asia terkemuka seperti Jepang dan kemudian disusul Korea Selatan, Taiwan dan baru-baru ini Tiongkok banyak dimajukan secara signifikan karena kemitraan yang mereka bangun dengan Australia sebagai penyedia sumber daya alam yang andal, berkualitas tinggi, dan dengan berharga terjangkau untuk barang-barang manufaktur yang mereka ekspor ke dunia.
Salah satu ciri hubungan perdagangan yang muncul antara Australia dan masing-masing ekonomi industri Asia di atas ketika mereka melewati laju industrialisasi dan modernisasi ekonomi yang cepat adalah bahwa masing-masing memiliki defisit perdagangan yang besar dengan Australia sementara pada saat yang sama mereka mengembangkan surplus perdagangan yang sangat signifikan dengan negara-negara lain di dunia.
Keuntungan Australia dari kemitraan powerhouse sebelumnya adalah terutama ekspor bahan mentah dan produk setengah jadi yang mendorong pertumbuhan industri Jepang dan industrialisasi dalam pembangunan ekonomi baru negara-negara di Asia pada masa-masa sebelumnya. Meskipun diharapkan banyak dari komoditas ini juga akan mendukung industrialisasi masa depan Indonesia dan mendorong kemakmurannya, diharapkan masukan jasa Australia terutama di bidang pendidikan, kejuruan dan pelatihan lainnya dapat juga memainkan peran yang lebih besar dalam meningkatkan daya saing dan pembangunan global Indonesia. Hal ini memang sangat dimungkinkan mengingat kemitraan bilateral yang kuat dan mendalam khususnya di bidang pendidikan yang telah terjalin selama beberapa dekade terakhir.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, neraca perdagangan antara Australia dan Indonesia tahun ini akan jauh lebih menguntungkan Australia dari sisi perdagangan barang, sementara runtuhnya ekspor sektor pariwisata Indonesia ke Australia juga akan mengurangi, jika tidak menghilangkan, surplus jasa yang selama ini dinikmati Indonesia bersama Australia dalam beberapa tahun terakhir. Selain itu, meskipun nilai ekspor pendidikan Australia ke Indonesia juga terpukul akibat kebijakan pengendalian COVID-19, kehilangan pendapatan wisatawan dari Australia jauh lebih besar.
Peningkatan signifikan ekspor Australia ke Indonesia berasal dari barang ekspor tradisional baik dari segi volume maupun nilai. Dalam hal gandum memang benar, berdasarkan pengalaman perdagangan sebelumnya, bahwa sebagian gandum yang diekspor Australia ke Indonesia akan diproses di dalam Indonesia dan kemudian diekspor sebagai tepung terigu ke negara-negara tetangga sehingga menunjukkan beberapa elemen pembentukan powerhouse. Dalam hal ini, komoditas ini mencerminkan arus perdagangan yang telah lama ada sehingga kemungkinan besar tidak mencerminkan beberapa transformasi baru yang besar dalam pola perdagangan.
Meskipun demikian, ada ekspor lain dari Australia patut mendapat perhatian khusus. Ini termasuk pertumbuhan yang menarik dari ekspor batubara kokas Australia ke Indonesia. Meskipun Indonesia memproduksi dan mengekspor batubara kokas, sebagian besar batubaranya, termasuk untuk ekspornya, adalah batubara termal. Meskipun harga memang meningkat, volume ekspor ini dari Australia ke Indonesia juga meningkat secara signifikan dari 2,3 juta ton pada tahun 2015 menjadi 4,9 juta ton pada tahun 2020. Angka untuk tahun 2021 bahkan dapat melampaui delapan juta ton.
Yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah pertumbuhan impor bijih besi Indonesia dari Australia. Mengingat ambisi Indonesia yang lebih luas untuk menjadi produsen dan pengekspor utama produk yang lebih canggih seperti otomotif, impor komoditas seperti bijih besi akan menjadi input penting untuk sektor tersebut. Produksi baja Indonesia tumbuh setiap tahun dan rata-rata sebesar 16 persen dalam lima tahun hingga 2020. Indonesia tidak memiliki cadangan bijih besi yang kuat dan cadangan batubara kokasnya sebagian besar terkonsentrasi jauh di pedalaman provinsi Kalimantan Tengah. Mengingat melimpahnya cadangan kedua komoditas di Australia, maka kita dapat mengharapkan Australia muncul sebagai mitra strategis utama bagi Indonesia karena terus mengembangkan dan memperluas industri baja, termasuk pasar ekspornya, di tahun-tahun mendatang.
Jika kita berada di tahap awal dari kemunculan kemitraan perniagaan berbasis powerhouse untuk koridor perdagangan Australia-Indonesia, kita seharusnya berharap bahwa ekspor Australia ke Indonesia akan tumbuh lebih cepat daripada ekspor Indonesia ke Australia, tetapi kita juga harus melihat pertumbuhan yang solid dari manufaktur Indonesia dan produk olahan lainnya yang diekspornya ke dunia. Ini tentu saja pengalaman ekonomi Asia lainnya yang awalnya dialami Jepang dan terakhir dengan Tiongkok. Di masing-masing negara ini, Australia telah menjadi mitra strategis yang memungkinkan masing-masing negara and ekonomi industri di Asia beralih sehingga mempunyai ekonomi yang maju dan makmur.
Di sisi perdagangan jasa, dan dengan asumsi bahwa epidemi COVID-19 akhirnya berakhir pada tahun 2022, kita akan mulai melihat peningkatan yang signifikan dalam ekspor jasa Indonesia ke Australia, terutama pariwisata, sementara pelajar Indonesia diharapkan mulai kembali untuk mengambil studi mereka di Australia. Akhirnya layanan transportasi udara harus mulai kembali mengambil bisnis dengan manfaat bagi perusahaan dan pengangkutan orang-orang antar kedua negara.