Kajian Australia di Indonesia

Selalu menyenangkan bisa bergabung dengan teman-teman Indonesia yang sedang menyelesaikan studi pasca sarjana mereka di kampus kami.

 

Namun satu hal yang cukup lucu bagi saya pada saat itu adalah mereka tidak banyak bicara dan tampak gelisah tentang beberapa pandangan yang dikemukakan oleh para akademisi Australia dan mahasiswa pascasarjana Australia. Saya tidak pernah paham mengapa mereka tampaknya tidak setuju dengan pandangan-pandangan yang diajukan padahal dalam hemat saya perspektif yang disampaikan cukup masuk akal.

Pada akhirnya saya mendapatkan jawaban saya pada pertemuan akbar pakar Indonesia tentang Australia di Universitas Indonesia di Depok pada awal 1990-an. Di tengah beberapa presentasi yang sangat menarik dari orang-orang Indonesia yang ahli mengenai Australia tentang faktor-faktor pendorong republikanisme di Australia, anehnya saya merasa agak gelisah. Tiba-tiba saya mulai tertawa, atau sebenarnya, menertawakan diri saya sendiri. Ini, saya duga, persis seperti yang dirasakan teman-teman Indonesia saya dulu di Australia – dan pasti untuk alasan yang sama. Apa yang dikatakan para ahli Australia (Australianis) dari Indonesia ini memang masuk akal tetapi mereka menjelaskan dan memahami hal-hal dengan tata pendekatan yang saya, sebagai orang Australia, tidak biasa mendengar atau memahaminya jika ikut diskusi tentang Australia.

Pada saat itu saya menyadari manfaat yang besar tidak hanya untuk Indonesia tetapi juga untuk Australia dengan kehadiran sekelompok orang yang memiliki keahlian dalam memahami Australia tetapi dari perspektif yang sangat segar bagi kita yang dibesarkan di Australia itu sendiri. Ini juga membantu saya melihat potensi sebenarnya dari studi saya di Indonesia untuk membantu orang Australia lebih memahami Indonesia dan bahkan memberi perspektif berbeda kepada teman di Indonesia tentang Indonesia sendiri.

Pada akhir Juni, Universitas Nasional di Jakarta meluncurkan Centre for Australian Studies (CFAS) yang baru. Ketua pendiri CFAS adalah Harry Darmawan, S.Hum, M.Si.

Saya berkesempatan mengunjungi Universitas Nasional (UNAS) baru-baru ini untuk bertemu dengan Bapak Darmawan dan Ketua Program Studi Hubungan Internasional di UNAS, Dr Irma Indrayani, SIP, M.Si, bersama dengan sekretaris CFAS Gulia Ichikaya Mitzy MA dan Ketua Penelitian dan Publikasi Bapak Hamsah M.Pd.

Pertanyaan pertama saya adalah mengapa mereka di Unas memutuskan untuk mendirikan Pusat Studi Australia. Pak Darmawan menyarankan bahwa “pertanyaan yang lebih jitu adalah untuk mencatat bahwa tidak ada alasan mengapa tidak ada Pusat Studi Australia di Indonesia. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor diplomatik, sosial, budaya dan sejarah serta politik dan ekonomi, jelaslah bahwa Indonesia perlu dilengkapi dengan tempat-tempat yang mengkaji Australia secara mendalam. Sebagai lulusan Studi Australia di UI, di mana dulu ada Pusat Studi Australia, saya berpikir mengapa tidak mendirikan pusat baru di sini di Universitas Nasional”.

Kami mendiskusikan lebih lanjut asal usul dan harapan dari pusat studi tersebut. Dr Indrayani mencatat bahwa CFAS dibentuk di dalam fakultas namun sebenarnya melapor langsung ke rektor universitas. Harapannya, pusat tersebut mampu menarik para pemikir dari lintas program studi untuk meneliti Australia. Patut dicatat pihak yang terlibat dalam acara peluncuran termasuk Duta Besar Indonesia untuk Australia, H.E. Kristiarto Legowo, Wakil Duta Besar Australia yang baru untuk Indonesia, Steve Scott, serta pendukung jangka panjang dalam mempromosikan Kajian Australia di Indonesia, yaitu Prof David Reeve dari USW dan Dr Richard Chauvel dari Melbourne University.

Sebagai jawaban terhadap pertanyaan, Bapak Darmawan menggarisbawahi bahwa agenda kerja CFAS akan  termasuk penelitian bersama, gelar bersama atau ganda, pertukaran dosen dan mahasiswa serta kunjungan profesor, publikasi penelitian dan konferensi, pemagangan, pengembangan kurikulum, kerjasama pasca sarjana dan penempatan lulusan studi Australia.

Bapak Darmawan menjelaskan bahwa dia telah melakukan penelitian yang mencakup sejumlah kampus di seluruh Indonesia yang mengajarkan tentang Australia. Hasilnya mencatat bahwa sejauh ini dia telah menemukan sekitar 80 kampus. Kampus-kampus ini terbentang dari Aceh hingga Papua. Ini termasuk universitas dan institut negeri, universitas dan perguruan tinggi swasta serta pusat-pusat pendidikan tinggi Islam negeri.

Berbagai fakultas dan program studi yang menyelenggarakan studi mengenai Australia termasuk sejarah, hubungan internasional, ilmu politik, sastra dan ilmu pendidikan. Selain itu kuliah tentang Australia sering dimasukkan ke dalam mata kuliah yang lain di program studi hukum dan ekonomi. Dr Indrayani mencatat mereka juga pernah menjumpai kampus yang memasukkan materi biologi terkait Australia. Saya mencatat ini sangat menarik dan tentu saja relevan mengingat kesamaan biologi dan ekologi yang lebih luas antara wilayah timur Indonesia dan Australia.

Saya menambahkan bahwa saya juga telah menemukan adanya sebuah mata kuliah yang populer di beberapa departemen sejarah di banyak kampus yaitu mata kuliah yang disebut “Sejarah Australia dan Oseania”. Saya berasumsi pada suatu waktu sekelompok akademisi duduk bersama-sama untuk menghasilkan subjek ini. Ditambahkan Pak Darmawan, banyak kampus di Sumatera yang sudah beberapa tahun menggunakan mata kuliah ini. Namun demikian dia mencatat ada kebutuhan untuk bahan referensi yang lebih kontemporer untuk menjaga agar mata kuliah ini tetap segar. Bahan mutakhir ini lumayan sulit ditemukan. Saya mengingat bahwa saya sedikit terkejut bahwa belum menemukan bahan atau mata kuliah di Indonesia di bidang antropologi yang memperhatikan isu antropologi Australia. Hemat saya ilmu antropologi ini juga mungkin menarik dari segi pengertian sama sama masyarakat Australia dan Indonesia mengingat dinamika perkembangan masyarakat hukum adat di kedua negara.

Pak Darmawan mencatat bahwa CFAS juga ingin memainkan peran sebagai sebuah hub yang menghubungkan berbagai pusat pendidikan tinggi di seluruh Indonesia yang menyampaikan mata pelajaran atau kuliah mengenai Australia. Idealnya ini termasuk memiliki kampus mitra utama di masing-masing dari 34 provinsi di Indonesia.  Pendirian jaringan kampus yang lebih luas akan memungkinkan setiap akademisi, yang mungkin menjadi peneliti tunggal tentang Australia di kampus mereka, agar dapat menjalin jaringan yang lebih baik dengan rekan-rekan dari daerah lain yang juga menjadi single fighter di kampus mereka. Pendekatan ini juga akan memungkinkan keterlibatan yang lebih baik dari dosen dan peneliti secara lintas disiplin.

Kami juga membahas gagasan tentang tata cara agar CFAS dapat terhubung dengan pusat-pusat studi Australia di Australia sebagai sarana untuk memperkuat konektivitas studi Australia di kedua negara.

Pak Darmawan menerangkan salah satu kegiatan lain yang dilakukan CFAS adalah kompetisi video antar siswa di tingkat SMA di mana siswa memberikan informasi tentang apa yang mereka ketahui tentang Australia. Dia menyampaikan generasi saat ini jelas lebih terinformasi daripada generasi sebelumnya. Ia berharap pelibatan seperti ini bisa menjadi salah satu kegiatan sosialisasi yang bisa dilakukan CFAS ke depan.

Secara terpisah saya menghubungi Dr Chusnul Mar’iyah, mantan Komisioner KPU RI dan penyelenggara kursus Politik Australia di Universitas Indonesia. Menanggapi pertanyaan, Dr Chusnul menjelaskan bahwa pada awal dia adalah satu di antara enam mahasiswa pasca sarjana yang dikirim ke Australia untuk belajar tentang hal-hal yang berkaitan dengan Australia. Dia memilih untuk fokus pada politik perkotaan di Australia karena memandang ini sebagai titik masuk yang berguna untuk membandingkan dengan negara lain. Dia mencatat ada banyak orientalis dari Barat tetapi hanya sedikit dari Indonesia yang benar-benar mempelajari Barat.

Bagi Dr Chusnul pelajaran ini merupakan tantangan yang bagus. Mengenai murid-muridnya yang mengikuti mata kuliahnya Politik Australia di FISIP UI, dia mencatat bahwa banyak yang bekerja di LSM, sektor swasta dan lainnya ke pemerintahan termasuk beberapa yang masuk dinas diplomatik Indonesia. Studi mereka tentang Australia akan menjadi aset berharga bagi mereka di banyak bidang. Dia juga mencatat bahwa ilmu yang dia dapat dari studinya tentang politik Australia sering dimanfaatkan ketika dia menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum misalnya pada saat dia i membuat fasilitas Tally Room di mana media, politisi, dan masyarakat sipil dapat berkumpul untuk membahas hasil yang muncul. (Dia melihat manfaat dari Tally Room di Canberra sebagai sarana berharga untuk mendukung pemilu Australia) Selain itu, media Indonesia sering menghubunginya untuk membantu menjelaskan perkembangan politik seperti pemilihan umum dan perkembangan politik besar lainnya di Australia.

Saya telah lama menjadi pendukung untuk menguatkan studi Australia di Indonesia berdasarkan alasan yang sama mengapa saya mendukung studi Indonesia di Australia. Sampai satu generasi yang lalu, gagasan untuk sebuah Pusat Studi Australia akan berbentuk fasilitas bangunan di universitas atau jaringannya dengan bangunan semacam itu di seluruh negeri. Kemajuan teknologi menunjukkan bahwa pilihan yang jauh lebih murah sekarang tersedia yang menghubungkan peneliti dan dosen dengan minat dalam studi Australia. Dengan menghubungkan orang-orang lintas lembaga dan provinsi melalui jaringan teknologi komunikasi modern, maka jauh lebih layak untuk menciptakan sekumpulan ahli yang kritis dalam disiplin apa pun atau idealnya lintas disiplin yang membawa perspektif mereka sendiri yang berbeda pada saat mereka mencoba meneliti dan memahami Australia dengan lebih jitu.

Picture of Kevin Evans

Indonesia Director
The Australia-Indonesia Centre

Sign up to our twice-weekly Media Update