Index Persepsi Korupsi Indonesia tergelincir: seruan untuk membangunkan negara
Indonesia telah mengalami kemunduran dalam indeks persepsi korupsi setelah kemajuan yang konsisten selama hampir 20 tahun.
Indonesia telah mengalami kemunduran dalam indeks persepsi korupsi setelah kemajuan yang konsisten selama hampir 20 tahun.
Laporan terbaru Transparansi Internasional, TI, menunjukkan bahwa Indonesia merosot 17 peringkat ke 102 dalam indeks persepsi. Angka yang mengkhawatirkan ini muncul setelah negara ini mencapai peringkat tertinggi 85 pada 2019 dengan rekor skor tertinggi 40.
LSM, yang bermarkas di Jerman ini, mengeluarkan Indeks Persepsi Korupsi setiap tahun. Saat diluncurkan TI mengatakan bahwa hasil tahun ini menampilkan gambaran suram dimana korupsi mencegah respons yang tepat terhadap COVID-19.
Negara-negara dengan skor CPI lebih tinggi juga lebih cenderung memiliki norma demokrasi yang kuat. (Selandia Baru berbagi tempat teratas dengan Denmark).
Direktur Indonesia untuk AIC yang berbasis di Jakarta dan pakar Indonesia Kevin Evans menguraikan beberapa kemungkinan untuk menjelaskan kemunduran tahun 2020, dan menelusuri sejarah upaya pemberantasan korupsi nasional.
Persepsi korupsi: kemunduran pertama dalam 18 tahun
Selama dua dekade terakhir, Indonesia telah merupakan contoh sangat unggul sebagai negara yang berhasil mendongkrak posisinya di antara negara di kawasan, bahkan global. Kemerosotan yang tiba-tiba menjadi perhatian jika negara ingin berhasil menciptakan pembangunan yang adil dan meningkatkan investasi asing.
Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional di Indonesia Dandang Widoyoko mengatakan kepada AIC bahwa angka tahun 2020 diharapkan akan menjadi peringatan karena “biaya politik dan ekonomi dari penurunan jika diteruskan terlalu tinggi untuk Indonesia”.
“Penurunan secara tiba-tiba dalam tren positif jangka panjang CPI Indonesia pada tahun 2020 ini diharapkan agar tidak menjadi momen pasrah atau kekecewaan, melainkan sebagai momen untuk menghidupkan kembali upaya membangun bangsa yang lebih kuat dan lebih tangguh terhadap dampak subversif dan merusak dari korupsi.”
Pada tahun 2019, Indonesia mencapai tonggak bersejarah – untuk pertama kalinya bergabung dengan negara-negara belahan teratas. Sebenarnya ada sejumlah contoh negara yang membuat kemajuan spektakuler selama beberapa tahun sebelum memudar kembali menuju tempat semula. Kemajuan Indonesia lambat dan mantap namun konsisten dan berkelanjutan.
Bagan di atas memberikan gambaran tentang status setiap negara yang diukur sejak tahun 1998 dengan menggunakan berlian biru kecil. Hasil untuk Indonesia disorot dengan berlian merah besar. Sebagai perbandingan, hasil tahunan Australia disorot dengan berlian hijau besar.
Untuk menempatkan posisi negara dengan jelas, maka mereka yang berada di ujung kiri grafis setiap tahun adalah negara yang dianggap paling tidak korup sementara negara yang berada di ujung kanan dipersepsikan menderita tingkat korupsi tertinggi.
Hasil tahun 2019 ini sejatinya merupakan prestasi nasional yang patut dibanggakan semua anak bangsa dan merupakan buah dari kerja keras bersama lintas generasi antara berbagai lembaga pemerintahan, masyarakat sipil, akademisi, sektor swasta dan media.
Kemudian tibalah 2020
Untuk pertama kalinya dalam hampir satu generasi Indonesia mengalami pembalikan posisi pada tahun 2020. (“Penurunan” pada tahun 2012 disebabkan oleh revisi teknis proses verifikasi data yang menyebabkan beberapa negara, sebagian besar yang berada di ujung spektrum bawah, dikecualikan dikarenakan cakupan data negara-negara tersebut dinilai belum memadai untuk memberikan gambaran yang efektif. Memang, meskipun Indonesia tampak turun, patut dicatat bahwa skor aktualnya justru membaik tahun itu.)
Penurunan Indonesia sebesar tiga poin pada tahun 2020 setara dengan penurunan tajam ketiga terbanyak yang diderita oleh negara manapun. Meskipun kita semua berharap hal ini ternyata hanya “kedipan” pada tren berjangka panjang, namun penting untuk mempertimbangkan faktor yang menyebabkan hasil mencemaskan ini. Implikasi bagi Indonesia andaikan pembalikan prestasi ini berlanjut sangat serius.
Dampak serius ini termasuk betapa persepsi yang melemah tentang korupsi dapat berdampak pada kelayakan suatu negara sebagai tujuan investasi. Mengingat bahwa Pemerintah Indonesia telah berupaya besar selama beberapa tahun terakhir untuk meningkatkan kemampuan negara untuk menarik investasi baru, kekhawatiran baru tentang masalah korupsi hanya akan menumbangkan pekerjaan ini. Selain itu, keberhasilan Indonesia yang dengan susah payah berhasil meraih peringkat status layak investasi di antara lembaga pemeringkat global utama juga akan berisiko jika regresi CPI berlanjut. Hal ini akan berdampak khusus pada hal-hal seperti kapasitas untuk menarik dan mempertahankan investasi tidak langsung (misalnya saham) serta mengamankan akses ke tingkat suku bunga yang lebih rendah untuk pinjaman. Masalah ini menjadi ancaman khusus sektor swasta.
Dipastikan ada beberapa faktor yang menyebabkan pembalikan mendadak terhadap CPI ini. Revisi UU KPK cukup banyak menimbulkan tanggapan negatif. Perubahan ini menimbulkan kecemasan publik yang signifikan termasuk protes ditambahkan dengan kecurigaan tentang motif perubahan ini, terutama mengingat perubahan tersebut disahkan pada hari-hari terakhir sebelum pelantikan Parlemen baru. Bahaya besar dari keberdayaan sebuah Parlemen bebek pincang (lame duck) untuk mengesahkan undang-undang substantif adalah bahwa secara harfiah tidak ada pertanggungjawaban politik bagi para Anggota Parlemen, terutama ketika perubahan keanggotaan parlemen cukup tinggi – seperti yang terjadi di Indonesia. Pertanyaan wajar dari masyarakat yang muncul saat itu adalah mengapa para Anggota Parlemen yang sama tidak berani mendukung perubahan ini sebelum pemilihan umum 2019.
Selain itu, anggota Komisi yang baru diangkat setelah undang-undang diubah justru menerapkan sikap jauh lebih menjaga jarak dari segi konsultasi dan kerja sama dengan masyarakat luas. Hal ini menambah kekhawatiran di benak para pemimpin opini publik tentang kemampuan atau bahkan keinginan KPK untuk tetap aktif dalam pemberantasan korupsi.
Terlepas dari kekhawatiran ini, KPK saat ini sudah menangkap dua menteri Kabinet yang diangkat di Kabinet Jokowi jilid dua dan satu lagi yang bertugas di Kabinet yang telah berakhir. Selain itu, Dewan Pengawas yang terbentuk sebagai bagian dari perubahan UU KPK yang direvisi telah menunjukkan kewenangannya termasuk dengan mengeluarkan teguran terhadap Ketua KPK yang baru. Selain itu, Dewan ini memang terdiri dari tokoh-tokoh yang kredibel termasuk seorang mantan Komisioner KPK dan seorang hakim yang dikenal dan dihormati masyarakat karena integritasnya dalam menghadapi ancaman.
Bagaimana Indonesia bangkit dari tangga terbawah dunia?
Dengan harapan bahwa hasil di tahun 2020 adalah sebuah kedipan, dan bukan awal dari tren baru yang sangat disayangkan, Indonesia telah menunjukkan dua tren utama sejak awal era Reformasi pada tahun 1998.
Tren pertama terlihat dari tahun 1998 hingga 2003, yaitu pada tahun-tahun awal era Reformasi. Selama tahun-tahun ini ada kemajuan dalam persepsi korupsi di satu tahun kemudian kemunduran pada tahun berikutnya.
Hasil seperti ini tidaklah mengejutkan berdasarkan dua alasan.
Alasan pertama untuk tren yang tidak konsisten disebabkan apa yang dapat dapat disebut tingkat kepekaan tinggi yang mengilhami persepsinya. Pada tahun-tahun awal Reformasi, perhatian masyarakat banyak tertuju pada masalah korupsi. Kepekaan yang tajam ini turut menciptakan peningkatan persepsi yang tajam. Ini memang sangat lazim di negara-negara yang mengalami transisi demokrasi karena isu-isu “sensitif” yang sebelumnya tersembunyi dari wacana publik terungkap untuk dilihat dan dibahas semua orang. Orang Indonesia, tentu saja, sangat menyadari bahwa dari dulu korupsi memang ada, seperti tercermin dalam banyak humor gelap yang digunakan orang untuk mengekspresikan kebencian mereka terhadap korupsi di era pra-Reformasi. Namun masalah korupsi tidak banyak mengisi kolom pers atau gelombang udara apalagi sidang pengadilan. Fokus nasional yang besar beserta kemarahan publik tentang korupsi sejak awal Reformasi memberikan banyak energi yang dibutuhkan untuk menjadikan para pemimpin tetap fokus pada pembuatan strategi nasional untuk melawan korupsi.
Alasan kedua untuk ketidakstabilan tren pada tahun-tahun awal Reformasi dikarenakan negara sedang berjuang melalui trial and error untuk menyusun strategi dan pendekatan nasional untuk menghadapi tantangan korupsi. Ini termasuk deklarasi “politik” termasuk dari MPR, peluncuran berbagai inisiatif melalui tindakan eksekutif dan sistem peradilan untuk memajukan inisiatif penegakan hukum, pengesahan undang-undang baru, yang berupaya membangun kapasitas negara untuk memperkuat sistem integritas internal, bersama-sama dengan banyak tekanan dari masyarakat, akademisi dan media agar lembaga negara “bertindak” melawan korupsi. Di antara tantangan institusional pada saat itu adalah belum adanya tradisi tata pemerintahan di Indonesia untuk dilengkapi lembaga-lembaga yang “mandiri” dari Pemerintah namun tetap menjadi lembaga negara. Sebelum Reformasi ada Komnas HAM, namun lembaga ini hanya terbentuk berdasarkan Perpres, bukan UU. Upaya awal era Reformasi termasuk pembentukan sebuah Komisi Pemilihan Umum, namun pejabatnya tetap di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri, atau Komisi Kepegawaian yang ketuanya merangkap jabatan sebagai Ketua Badan Kepegawaian Negara yang induknya ada sejak 1948.
Strategi terlembaga mulai terwujud
Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK, pada akhir 2003 merupakan langkah ke depan yang besar. Badan ini, yang dibentuk pada masa pemerintahan Presiden Megawati, diciptakan sebagai contoh lembaga negara berkelas dunia yang mandiri dari cabang-cabang pemerintahan eksekutif, legislatif, dan bahkan awalnya yudikatif. Mandat hukum yang kuat beserta otonomi operasional Komisi diperkuat lebih lanjut oleh dua pendekatan yang sangat penting yang diterapkan oleh para komisaris pertama KPK. Pendekatan pertama adalah penyusunan dan penerapan sistem integritas internal KPK yang kokoh, pada intinya untuk melindungi Komisi itu sendiri dari korupsi. Pendekatan kedua adalah menjalin kemitraan dan saluran komunikasi yang kuat dengan masyarakat luas, termasuk media dan masyarakat sipil.
Dorongan reformasi kelembagaan yang kuat secara nasional ini, termasuk dari lembaga KPK, bersama dengan fokus dan tekanan yang berkelanjutan dari masyarakat membantu para pemimpin politik tetap peka untuk menyadari keharusan politik untuk tetap berada dalam lokomotif antikorupsi. Kesemua ini membantu mendorong Indonesia maju selama hampir satu generasi.
Dari 2004 hingga 2019 Indonesia mengikuti tren kemajuan yang pelan namun berlanjut. Hal ini mengangkat Indonesia dari peringkat global terendah ke tonggak sejarah baru pada tahun 2019.
Dari perspektif regional, kemajuan Indonesia yang lambat tapi berlanjut juga terlihat jelas. Dari posisi paling bawah di antara kelompok negara-negara ini pada pergantian abad sampai pada 2019 Indonesia menempati urutan ketiga di antara negara-negara ASEAN di belakang Singapura dan Malaysia. (Data dari Brunei tidak lengkap). Bahkan sebelum pergantian Pemerintah di Malaysia pada tahun 2018, Indonesia berpotensi berada di jalur yang tepat untuk menyalib Malaysia – sebuah tonggak bersejarah lainnya jika hal tersebut dicapai.
Sekali lagi bagan ini juga menunjukkan penurunan Indonesia pada tahun 2020. Negara ini sekarang berada di bawah Timor Timor dan sekarang dibuntuti Vietnam.
Masyarakat merasa kurang berdaya untuk membuat perubahan
Untuk memahami sumber penurunan pada tahun 2020, mungkin perlu melihat di luar CPI. Satu alat lain yang dapat digunakan untuk mengukur korupsi dari basis komparatif adalah Barometer Korupsi Transparansi Internasional (CB). CB kurang terkenal dibandingkan CPI, tetapi berisi perspektif berharga yang dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang tantangan korupsi di dalam dan di antar negara. Selain mencari pandangan tentang persepsi, CB juga menangkap dan mengukur pengalaman nyata dari masyarakat tentang korupsi.
Laporan CB terbaru untuk wilayah Asia dirilis pada tahun 2020. Laporan sebelumnya adalah dari 2017. Untuk lebih memahami konteks tentang perubahan yang mungkin telah berkontribusi pada hasil CPI 2020, ada gunanya membandingkan hasil dari tahun 2017 dan 2020.
Di antara hasil yang paling mencolok adalah hasil terhadap pertanyaan apakah orang biasa dapat membuat perbedaan dalam memerangi korupsi. Pada 2017, sekitar 78% orang Indonesia menjawab ya untuk pertanyaan ini versus rata-rata regional yang hanya 63%. Hasil Indonesia tertinggi ketiga di antara 15 negara yang dibandingkan. Pada tahun 2020, angka positif ini turun menjadi 59% justru sekarang lebih rendah dari rata-rata regional yang mencapai 62%. Sekarang peringkat Indonesia turun menjadi 10 dari 17 negara yang dibandingkan. Rasa ketidakberdayaan yang tumbuh dalam warga negara patut dibaca sebagai tanda peringatan serius oleh para pemimpin politik tentang kualitas komunikasi, konsultasi, dan mutu interaksi antara warga negara yang diperintah dan mereka yang memerintah. Dalam hal ini pepatah lama “sikap diam belum tentu menandai persetujuan”.
Mengenai pertanyaan apakah anda memiliki pengalaman pribadi terkait korupsi dalam berhubungan dengan berbagai instansi negara, pada tahun 2017 sebanyak 32% masyarakat Indonesia menjawab ya, sedangkan rata-rata dari 12 negara kawasan yang tercakup jawabannya adalah 30%. Pada tahun 2020 ketika pertanyaan serupa ditanyakan di negara yang sama, angka di Indonesia turun menjadi 30%. Namun angka di seluruh wilayah jatuh secara jauh lebih signifikan menjadi 22%.
Ukuran lain yang sering digunakan untuk mengungkap masalah dengan administrasi publik adalah Ease of Doing Business dari Bank Dunia. Indeks ini sangat penting dalam situasi di mana pemerintah berusaha untuk mempromosikan investasi dan kegiatan bisnis yang lebih besar sebagai hasil pengurangan beban peraturan dan hambatan lain terhadap kegiatan komersial. Bagan berikut memberikan gambaran tentang kemajuan positif yang telah dicapai Indonesia, meskipun dimulai dari basis yang sangat buruk satu dekade lalu.
Disayangkan sekali data ini juga menunjukkan bahwa kemajuan besar yang telah dibuat dari pertengahan dekade terakhir terhenti setelah 2018. Ketiadaan kemajuan Indonesia ini terjadi sementara kemajuan yang stabil terus dicatat oleh anggota ASEAN lainnya dan juga lebih luas oleh anggota APEC lainnya secara keseluruhan.
Ada 10 faktor khusus yang tercakup dalam indeks Kemudahan Berbisnis. Tabel berikut memberikan perbandingan antara temuan untuk Australia dan Indonesia pada tahun 2020.
Untuk membuat perbandingan yang lebih mudah, saya telah memberikan kode warna untuk mengidentifikasi posisi setiap negara pada setiap masalah. Jika mereka berada di peringkat 50 terbaik secara global, warnanya hijau. Jika peringkatnya antara 51 dan 100, warnanya kuning. Jika mereka duduk di antara 100 dan 150 warnanya merah dan untuk masalah apa pun yang peringkatnya di bawah 150 warnanya hitam. Untungnya pada tahun 2020 tidak ada satupun faktor di Australia atau Indonesia yang berada di bawah 150 dalam kategori apa pun.
Sebagaimana dikemukakan di atas, sangat diharapkan agar penurunan mendadak dalam skor dan peringkat CPI Indonesia pada tahun 2020 tidak merupakan awal dari tren baru dan kemunduran dari kemajuan luar biasa yang telah dibuat oleh bangsa ini selama generasi terahir ini.
Biaya yang ditanggung bangsa dan negara dari segi kehilangan peluang untuk menarik investasi serta pembukaan lapangan kerja yang baru, akses yang lebih terbatas ke investasi, peningkatan biaya keterlibatan komersial termasuk kekhawatiran tentang risiko dalam bermitra dengan entitas di negara tersebut, sungguh terlalu tinggi.
Pendekatan strategi pemberantasan korupsi yang mengintegrasikan penegakan, pencegahan, dan pendidikan tetap penting. Tugas penegakan KPK bersama dengan lembaga penegak hukum lainnya seperti Kepolisian dan Kejaksaan tetap penting. Namun, meskipun “menangkap orang besar” selalu “seksi” dan layak diberitakan, kegiatan ini tidak cukup. Harus juga ada fokus yang sama kuatnya dalam menangani masalah-masalah yang terungkap dalam metrik seperti Kemudahan Berbisnis.
Upaya pencegahan korupsi ini termasuk penyederhanaan sistem dan prosedur peraturan dan administrasi bersama dengan penerapan berbagai bentuk teknologi baru untuk menjamin transparansi yang lebih lebar serta mengurangi peluang terjadinya praktek korupsi lainnya. Ada juga kebutuhan untuk memastikan bahwa sistem dan prosedur memberikan insentif untuk memungkinkan praktik yang baik dan disinsentif untuk berperilaku buruk.
Sistem remunerasi yang rasional, yang termasuk penggantian sistem yang tidak efisien dan sistem patronase dari tunjangan diskresioner yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, dll. Penerapan sistem remunerasi yang disederhanakan, telah terbukti efektif. Pendekatan luas termasuk transparansi untuk mengelola sistem pembayaran vendor juga telah efektif seperti yang ditunjukkan dengan tugas Perbendaharaan dari Kementerian Keuangan.
Undang-Undang Cipta Kerja yang baru disahkan seharusnya, asalkan peraturan pelaksanaannya tetap mendukung semangat dan arah UU ini, akan memberikan dorongan positif ke arah yang benar pada isu-isu yang tercermin dalam Kemudahan Berbisnis.
Disayangkan perbaikan dan perampingan peraturan yang ketinggalan zaman, tumpang tindih atau bahkan bertentangan serta perbaikan peraturan pelaksanaan tidak “seksi” atau fotogenik! Namun, kesemuanya ini sama pentingnya dengan heboh heboh “tertangkap basah” yang digunakan sebagai bagian dari pekerjaan penegakan hukum.
Terakhir, selain penegakan dan pencegahan sangat penting untuk memastikan bahwa semua orang dan pemangku kepentingan mendapatkan pendidikan yang baik tentang peraturan dan prosedur yang telah diperbaiki agar dapat diikuti tanpa perlu terlibat dalam praktik yang curang. Atau yang lebih penting lagi, upaya untuk melakukan praktek curang itu akan sangat merugikan. Untuk mendukung upaya pendidikan ini sangat perlu bermitra dengan lembaga pendidikan, masyarakat sipil dan kelompok berbasis agama, asosiasi sektor swasta serta berbagai cabang media. Lembaga lembaga ini perlu dinilai sebagai jaringan penting untuk menyebarkan pesan inti dari lembaga seperti KPK.
Mengapa CPI penting
Di banyak negara, para pemimpin mempromosikan perbaikan dalam posisi global mereka sebagai bukti kemajuan nasional termasuk sebagai bagian dari upaya untuk mempromosikan bangsa mereka sebagai mitra yang baik untuk investasi dan kegiatan komersial lainnya. Sebaliknya kemunduran pada CPI dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkritik kinerja dan menggairahkan kembali upaya perbaikan sistem pengendalian korupsi dan integritas dalam suatu bangsa.
Di banyak negara, termasuk Indonesia, terdapat upaya untuk menggunakan sistem CPI sebagai cara untuk membandingkan hasil antar provinsi. Informasi lebih lanjut tentang Transparansi Internasional Indonesia, yang telah melakukan latihan serupa di seluruh Indonesia, dapat ditemukan di sini. (https://ti.or.id/)
Dengan demikian, CPI membekali para pemimpin politik, pembuat kebijakan, aktivis dan bahkan media dengan alat yang mudah yang dapat digunakan untuk advokasi dan promosi, atau juga kritik. Tentu saja para pemimpin bisnis menggunakannya sebagai bagian dari upaya fidusia mereka agar menilai risiko bisnis untuk keterlibatan komersial di seluruh dunia.
Meski begitu, CPI bukannya tanpa kritik dan keterbatasan. Aktivis masyarakat sipil pada khususnya sering mengeluh bahwa CPI terlalu dibobotkan untuk mengukur pandangan dunia usaha. Ada juga yang mengeluarkan kritik bahwa persepsi belum tentu sama dengan kenyataan. Bahkan jika itu masalahnya, perlu diingat bahwa persepsi diinformasikan oleh sejumlah faktor termasuk pengalaman nyata serta pembelajaran bersama. Lebih penting lagi, persepsi juga mengilhami keputusan dan tindakan.
Apa saja yang termasuk dalam CPI
CPI 2020 mencakup 180 negara dan wilayah. CPI menggabungkan sekitar 13 seri data yang berbeda , yaitu:
- African Development Bank Country Policy and Institutional Assessment 2018
- Bertelsmann Stiftung Sustainable Governance Indicators 2020
- Bertelsmann Stiftung Transformation Index 2020
- Economist Intelligence Unit Country Risk Service 2020
- Freedom House Nations in Transit 2020
- Global Insight Country Risk Ratings 2019
- IMD World Competitiveness Center World Competitiveness Yearbook Executive Opinion Survey 2020
- Political and Economic Risk Consultancy Asian Intelligence 2020
- The PRS Group International Country Risk Guide 2020
- World Bank Country Policy and Institutional Assessment 2019
- World Economic Forum Executive Opinion Survey 2019
- World Justice Project Rule of Law Index Expert Survey 2020
- Varieties of Democracy (V-Dem v. 10) 2020
Dandang Widoyoko dari Transparansi Internasional Indonesia mengatakan bahwa “tidak semua seri data digunakan dalam menganalisis setiap negara. Misalnya Indonesia jelas tidak tercakup dalam seri data dari Bank Pembangunan Afrika. Namun, untuk disertakan dalam CPI global, suatu negara / wilayah harus disertakan dalam minimal tiga dari 13 seri sistem data yang digunakan oleh TI ”.
Untuk Indonesia, data yang digunakan terdiri dari sembilan seri data:
- The PRS Group International Country Risk Guide
- IMD World Competitiveness Center World Competitiveness Yearbook Executive Opinion Survey
- Global Insight Country Risk Ratings
- Political and Economic Risk Consultancy Asian Intelligence
- Varieties of Democracy (V-Dem v. 10)
- World Economic Forum Executive Opinion Survey
- Bertelsmann Stiftung Transformation Index
- Economist Intelligence Unit Country Risk Service
- World Justice Project Rule of Law Index Expert Survey
Key: Meningkat, Stabil, Menurun
Bapak Widoyoko mencatat bahwa “pada tahun 2020, Indonesia mengalami penurunan dalam lima dari sembilan pengukuran. Pada tiga indeks berikutnya Indonesia mempertahankan peringkat sebelumnya sedangkan pada satu indeks akhir Indonesia berhasil mencatat perbaikan. ”
Ia mengatakan yang menjadi perhatian adalah bahwa metrik-metrik yang berfokus pada pengukuran terkait risiko bisnis mengalami penurunan yang paling tajam, termasuk Global Insight Country Risk Ratings dimana Indonesia turun dari 47 menjadi 35 dan juga dari PRS International Country Risk Guide dimana Indonesia jatuh dari 59 menjadi 50.”
Pada satu metrik yang menunjukkan perbaikan, yaitu dari Indeks World Justice Project’s Rule of Law, Bapak Widoyoko mencatat bahwa “ini biasanya, dan sebenarnya, tetap menjadi area kinerja terlemah Indonesia di CPI. Namun tahun lalu kami melihat sedikit peningkatan dari 21 menjadi 23.
Dia mengatakan bahwa perkembangan ini “mungkin telah dibaca sebagai menunjukkan penguatan kompetensi dan integritas penegakan hukum.”
Dia mengatakan ini mungkin cerminan dari keberhasilan dalam penangkapan tersangka penipu bank yang telah dalam pelarian, serta tindakan cepat dan transparan terhadap pejabat polisi yang diduga telah membantunya. Ada juga penangkapan dan penuntutan terhadap mantan Sekretaris Mahkamah Agung karena penyalahgunaan wewenang secara korup.
Kevin Evans telah mempelajari Asia Tenggara secara umum, khususnya Indonesia, selama 35 tahun. Selama 25 tahun Ia telah tinggal di Indonesia, bekerja sebagai diplomat, pialang saham, akademisi dan aktivis LSM.